Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fabel] Dialog Tiga Laba-laba

7 November 2015   09:52 Diperbarui: 7 November 2015   13:33 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

S Aji, no : 21

---

[Kehidupan di kampung ini terus saja makin sepi. Banyak penduduk lelaki usia muda yang memilih pergi bekerja di perkebunan sawit walau hanya sebagai buruh kontrak yang tak jarang gajinya telat dibayar. Sementara yang perempuan sebagian besarnya pergi ke kota untuk menjadi karyawati toko demi pendapatan yang bahkan untuk membeli perlengkapan pribadi di pasar tradisional pun tak cukup. Orang tua dan sanak kerabat pun ikut berduyun-duyun pindah ke kota walau hidup harus berbagi kesulitan. Bagi merka, pilihan ini jauh lebih baik dari pada sendiri menghadapi kesulitan. Walhasil, kampung ini seolah mati segan hidup tak mau. Yang terjadi kemudian adalah potret sebuah kampung kecil yang semula ditinggali 200 Kepala Keluarga yang kini sebagian besar rumah warganya terus melompong kosong. Keluarga terakhir yang tertinggal adalah mereka yang menjadi bagian dari pemerintahan desa]

***

“Hei, kau jangan bikin rumah di situ. Itu sudah lokasi yang dipilih Bernard. Carilah lokasi yang baru. Jangan bergabung disini!,” kataku kepada Matthew yang baru saja datang. “Kau tahu si Bernard kan? Ia sepertinya tidak suka ada yang membangun sarang dekat tempatnya.” Kataku mengingatkan.

Mattew akhirnya menyerah dan pergi menyusuri titian kayu mencari lokasi yang lain. “Pergilah ke ujung desa ini, ada beberapa rumah yang bisa kau singgahi. Siapa tahu ada yang masih menerimamu.” kataku lagi mengiringi pergi langkah Mattew.

Aku lalu kembali sibuk meniti serat protein. Menjahitnya menjadi untaian yang saling terhubung di pojok atap kamar mandi yang bau itu. Pekerjaan ini harus segera aku bereskan sebelum malam tiba. Terlebih mengingat ini musim penghujan, biasanya nyamuk-nyamuk itu akan tersesat dan terperangkap pada “tenunan benang” kematian yang sedang aku susun. Aku berharap bisa menangkap beberapa ekor sebagai makan malam agar tidurku bisa lebih nyenyak.

“Hai Jhon, gimana kabar sarangmu hari ini?,” sapa Bernard yang baru saja datang tak lama sesudah Mattew menghilang dari pandangan.

“Hai Bernard, sedang aku siapkan. Bagaimana dengan sarangmu? Sudahkah selesai kau kerjakan?,” tanyaku.

“Ah, sebentar lagi sudah selesai. Aku harus membuat tenunan yang agak besar. Sepertinya banyak nyamuk yang akan mampir ke sini. Oh ya Jhon, aku bersua Mattew di depan jalan, sepertinya ia membawa gundah. Apa yang dia dilakukan disini ?,”bertanya Bernard sambil melihatku yang sibuk menarik untaian serat membentuk tenunan benang itu.

“Oh Mattew? Dia hanya mencari lokasi untuk sarangnya saja. Sepertinya ia memiliki firasat yang sama jika malam ini akan banyak nyamuk mampir ke sini. Tapi aku bilang jangan membuat sarang di lokasimu, itu akan jadi masalah. Makanya aku menyuruhnya pergi ke ujung desa, disana banyak rumah kosong juga buka?.” jawabku.

“Mengapa kau tidak menahannya saja. Rumah kosong ini terlalu besar untuk ditinggali kita berdua Jhon. Kita harus berbagi ruang untuk bertahan hidup bukan? Jangan kau berfikir untuk menuankan salah satu dari kita. Sebagai laba-laba rumahan, kita memang terbiasa survive sendiri-sendiri tapi tidak berarti kita boleh menjadi tuan atas sesama, tidak ada raja rumah seperti raja hutan diantara kita.”

“Ingat Jhon, kau masih muda, jangan menciptakan kepatuhan yang tidak seharusnya! Atau jangan-jangan kau yang sesungguhnya tidak ingin berbagi ruang bertahan hidup dengan Mattew?.” jelas Bernard sambil menatapku dengan tajam.

Aku terus berhenti menenun benang sarangku. Terdiam.

Kau masih muda, jangan menciptakan kepatuhan yang tidak seharusnya dan membuat orang lain menjadi korban! Kata-kata ini membuatku tersentak.

Sungguh mati, aku tidak sedikit pun berniat menggunakan nama besar Bernard untuk mengamankan posisiku yang sudah betah di pojok kamar mandi. Aku hanya ingin Mattew tidak berurusan dengan Bernard yang pernah menyabung nyawa dengan semut api yang terkenal ganas itu.

“Aku akan pergi mencari Mattew, mengajaknya untuk berbagi ruang disini. Dan kau Jhon, cepat bereskan tenunanmu, sebentar lagi malam datang.”

Ah, Bernard ternyata berhati mulia. Aku telah salah menduganya.

Ku pikir keberhasilan dia memenangkan pertaruhan nyawa dengan semut api itu membuatnya pongah dan sok. Ternyata ia masihlah seorang laba-laba yang meyakini sesamanya memiliki kapasitas survivenya sendiri-sendiri. Ia juga masih sudi berbagi ruang hidup dengan laba-laba lain yang masih bingung dengan lokasi sarang mereka.

***

Aku sedang duduk dengan rasa bersalah sembari menunggu kedatangan Mattew dan Bernard. Aku telah melakukan kesalahan dengan menggunakan alasan yang salah hingga membuat Mattew harus pergi mencari rumah kosong yang lain.

Seandainya tadi aku tidak bersikap begitu, barangkali sekarang kami sedang bersama menunggu nyamuk-nyamuk yang tersesat di rumah kosong ini.

“Hai Jhon, aku kembali lagi, hehehe. Sudah berapa ekor yang terjebak tenun kematianmu malam ini?,” sapa Mattew sambil tersenyum ramah.

Sapa yang bukan saja membuyarkan lamunanku, tetapi juga makin menyesakkan rasa bersalahku.

“Mattew....kau sendiri? Kemana Bernard?, ”

“Bernard akan menyusul kesini. Dia menyuruhku lebih dahulu agar berkesempatan membangun jaring laba-labaku sebelum malam terlalu tinggi. Ya biar aku kebagian nyamuk juga, hehehe.”

“Mattew....aku minta maaf ya..”

“Sudahlah Jhon, lupakan. Toh aku sekarang sudah bersamamu disini kan?,”

“Terimakasih Mattew...buatlah tenunan kematianmu segera, firasatku nyamuk-nyamuk itu akan segera datang. Hahaha.”

“Oke sip. Aku memilih lokasi di kamar depan ya. Selamat memangsa nyamuk Jhon.”

Sepanjang malam itu, aku dan Mattew sibuk di sarang kita masing-masing, menunggu nyamuk yang tersesat. Hingga kekenyangan dan tertidur nyaman.

***

Pagi ini, hangat mentari terasa menembusi dinding papan kamar mandi kosong yang lama tidak dihidup air sabun dari tubuh penghuninya. Setelah tidur malam yang nikmat dengan kenyang, aku memutuskan berkunjung ke sarang Mattew.

“Selamat pagi Mattew, gimana kabarmu pagi ini?,”

“Pagi Jhon, aku sepertinya belum cukup beruntung. Aku mengerjakan sarangku cukup lama. Tapi syukurlah ada seekor nyamuk yang tersesat. Hahaha.”

“Oh ya Mattew, apakah kau melihat Bernard?”

“Belum, aku belum melihatnya sejak tadi. Ada apa Jhon, kau terbaca cemas?”

“Aku rasa ada masalah dengan Bernard. Jangan-jangan ia ditimpa marabahaya.”

“Hahaha, kau terlalu paranoid. Marabahaya apa di kampung yang terus ditinggal pergi penduduknya Jhon? Ayolah jangan lebay, Bernard bukan laba-laba muda dengan daya survive dan naluri yang masih belajar. Ia akan kesini seperti janjinya.”

‘Semoga saja Mattew.”

Dikritik sedemikian tajam oleh Mattew, aku memilih untuk balik saja ke sarangku. Mengapa aku selalu bertindak naif ya?

“Jhon, jangan pulang dulu. Aku minta maaf jika telah menyinggung perasaanmu. Tapi kurasa Bernard baik-baik saja Jhon, percayalah.” Mattew seperti menyadari ketersinggunganku. Aku tetap memilih untuk balik kanan, pulang ke pojok kamar mandi.

“Jhon,hendak kemana kau?,” suara Bernard yang berat berwibawa itu menahan langkahku. Aku terus berbalik dan tersenyum, ku lihat di depan sana, Bernard baik-baik saja. Ia bahkan tersenyum sangat lepas, seperti membawa kabar baik.

“Hehehe, aku hanya mencemaskanmu Bernard.”

“Hahaha, santai Bro! Aku selalu belajar untuk hati-hati. Mattew, kesini sebentar, ada kabar yang hendak aku ceritakan.”

Aku dan Mattew terus duduk berhadapan dengan Bernard. Ia kemudian memulai kabar baik yang dikatakannya itu.

“Aku baru saja mengelilingi kampung ini. Seperti yang kalian tahu, penduduk yang tersisa hanyalah mereka yang kebagian tugas sebagai aparat pemerintah desa. Kalian tahu kan, sebagian besar Kepala Keluarga disini sudah pergi ke kota, mencari penghidupan yang menurut mereka lebih layak. Barusan saja, rombongan terakhir yang pergi adalah keluarga pemerintah desa. Semalam aku mendengar rapat mereka, mereka sudah bulat memutuskan akan keluar dari kampung ini. Artinya apa, kampung ini akan jadi wilayah tak bertuan, tak bermanusia. Dan itu juga berarti tersedia banyak rumah kosong yang bisa kita tempati untuk membangun sarang kita sesuka hati tanpa ancaman bukan?,”

“Apakah rombongan manusia itu akan lebih bahagia dengan meninggalkan kampungnya, rumah dimana mereka lahir dan besar?,” tanyaku untuk memastikan bahwa mereka tidak akan pernah kembali.

“Sejujurnya aku sangsi di kota mereka hidup lebih layak. Manusia-manusia yang pergi itu hanya kehilangan daya survive dan kapasitas menjalani proses berkehidupan. Jadi perpindahan ke kota itu bentuk pelarian diri dari kelemahan mereka. Di sini mereka punya ladang yang bisa digarap untuk kebutuhan makan harian. Juga bisa berternak. Mereka hanya tidak mau hidup bekerja dengan apa yang mereka miliki dan memilih menjual tenaga kerjanya kepada tuan-tuan perkebunan dan toko.”

“Atau... Bernard, mungkin mereka mengejar mimpi khas kota yang terlanjur terbeli itu?,” tanya Mattew. Kritis juga rupanya si Mattew, tidak seperti aku yang naif.

“Bisa saja Mattew, bisa jadi begitu. Mereka mengejar mimpi yang tidak pernah bisa mereka beli. Mereka tidak menghargai hidupnya sendiri. Tidak menyukuri anugerah akal pikiran yang telah membuat mereka lebih pantas menjadi penjaga kehidupan dibanding kita. Tapi dengan kondisi begini, kau bisa melihat Mattew, manusia telah membuat dirinya lebih rendah dari kita, binatang kecil yang terus saja survive dengan naluri dan peralatan instingtif yang sudah terberi ini.”

“Haruskah kita berbahagia Bernard?,” tanyaku. Entah naif entah tidak.

“Pertanyaanmu sulit dijawab Jhon. Aku tidak tahu, bagaimana memahami bahagia dalam situasi seperti ini. Di satu sisi, kita sebagai laba-laba tentu menemukan lokasi yang ideal pada rumah-rumah kosong untuk membangun sarang dan mengumpulkan makanan. Tapi di sisi lain, aku juga melihat narasi sedih dalam rombongan manusia yang memilih hidup berkumpul serupa ayam dalam kandang hanya demi membagi kemiskinannya. Mereka bahkan lebih tidak bernyali dari kita, makluk yang hanya dengan sekali ayunan sapu lidi, terus menemui kematian.”

Aku, Mattew, dan Bernard lalu diam saja. Dialog kami, tiga laba-laba kini menggantung tanya yang besar : mengapa manusia mudah menggadaikan mimpinya pada kehidupan kota?

***

Untuk membaca karya peserta event Fabel yang lain, silahkan kunjungi Akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di grup FB Fiksiana Community

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun