[caption caption="Ilustrasi | Foto: health.kompas.com"][/caption]Perjumpaan selera kuliner saya dengan Mendoan memang belum berlangsung lama.
Walau begitu, saya telah jatuh hati kepadanya selain juga kepada Carica yang diproduksi dari dataran tinggi Dieng. Keduanya kemudian saya masukkan ke dalam daftar makanan favorit bersama dengan Coto Makassar, Gohu Ikan-Tidor/Ternate, Papeda dan Ikan Kuah Asam-Papua, Sambal Lopu dan Sayur Bening Kanjat-Dayak, dan Dabudabu Roa juga Mie Cakalang-Manado. Saya sangat menikmati mereka dalam dua pengertian. Yang pertama, adalah ramuan makanan dengan cita rasa yang khas, dan kedua, sebagai sebuah identitas budaya masyarakat Nusantara.
Khusus untuk mendoan, setiap pulang ke rumah adik di Purwokerto, saya harus selalu menyantapnya. 10 potong mendoan ukuran sedang bisa saya makan sendiri sebagai menu sarapan setiap pagi. Membuatnya memang tidak susah sebab tinggal membeli tempe dan tepungnya lalu digoreng.
Mendengar kabar berita mendoan dipatenkan aka didaftarkan sebagai merek yang memiliki hak cipta individu, saya jadi terkejut juga. Saya tidak tahu seperti apa sejarah penemuan mendoan, apakah ia memang lahir dari satu kreatifitas individual pada sebuah kurun masa tertentu ataukah dia produk budaya komunitas dimana didalamnya ada banyak manusia yang terlibat membentuk sejarah mendoan. Tapi rasa-rasanya mendoan itu produk komunal bukan temuan individual.
Ramai jadi berita mendoan karena ada seorang pengusaha yang mendaftarkan paten merek Mendoan ke Kemenkumham. Ia mendaftarkan merek ini ke Ditjen HaKI KemenkumHam sudah sejak tahun 2008 dan mendapat sertifikat bernomor IDM000237714. Langkah ini kemudian menimbulkan protes dari pemerintah daerah sementara pihak KemenkumHam sendiri mempersilahkan jika hendak menggugat keputusan sertifikasi merek mendoan tersebut. Si pendaftar itu sendiri telah mengatakan bahwa langkahnya bukan untuk komersialisasi tetapi untuk melindungi mendoan dari aneksasi merek paten pihak luar.
Selama ini kita sering mendengar kabar konflik hak paten dalam kerangka HaKI itu antara individu dan korporasi. Yang pernah muncul ke permukaan adalah kasus penggunaan benih (isu Pertanian). Mendengar ada produk kuliner seperti mendoan, rasa-rasanya kok aneh. Ada pengamat yang bilang mendoan tidak bisa dimerek-kan karena itu kata generik dan bukan penemuan seseorang.
Saya sendiri tidak mengerti dasar hukum pemberian sertifikasi merek. Namun barangkali yang kiranya harus diwaspadai adalah ketika satu produk kuliner yang selama ini ketahui merupakan produk budaya komunitas, aturan akan HaKI yang menyertai ideologi pasar bebas itu, justru menjadi sumber konflik yang mengancam daulat komunal.
Dalam konteks konflik merek mendoan ini, salah satu pendapat yang menurut saya baik sekali untuk disikapi adalah pendapat budayawan Ahmad Tohari. Ahmad Tohari yang kita kenal dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk itu mengatakan :
"Tidak boleh. Misalkan sate, masa itu misalnya sate diklaim itu hak saya, punya saya, siapa yang membuat sate harus minta izin saya, itu konyol. Mestinya pemerintah yang mengambil tindakan, melarang nama-nama makanan, atau nama apa pun yang merupakan produk kebudayaan kita, diambil menjadi hak pribadi," kata Tohari, Rabu (4/11).
Beliau juga menambahkan :
"Nah ini risiko yang dihadapi masyarakat dalam pindahan tradisi. Saya kira dalam hal ini, pemerintah harus tegas melindungi hak-hak budaya kelompok masyarakat tertentu. Misalnya, ada aturan yang melarang nama. Nama getuk, misalnya, atau nama srondol menjadi nama dagang. Padahal itu nama jenis, dan nama jenis itu milik semua seperti, air, udara, angin itu nama jenis," jelasnya sebagaimana dilansir merdeka.com. Link Pernyataan Ahmad Tohari di sini.