Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Story Collector

Mō zhe shítou guò hé - Deng Xiaoping | Ordinary Stories, Structural Echoes

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Sajak Seorang Tua

18 September 2015   17:51 Diperbarui: 18 September 2015   22:44 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku bangun ketika masjid telah memanggil untuk bersujud. Jadi aku mengambil wudlu dan baju koko tua pemberian dari keringat mengajarmu. Jika dulu hanya pada hari Jumat, aku sekarang lebih sering memakainya. Koko itu sekarang sudah lusuh sekali, ia juga makin tipis. Ia sering menelanjangi tulang-tulang rusukku yang makin menonjol di tengah garis-garis keriput di perut. Aku tidak mau membeli Koko yang baru, biarlah aku terus bersujud dengan yang kau berikan.

Sepulangku dari masjid, aku duduk di teras rumah kita yang makin reot. Memandang petak taman bunga yang kini sepi. Mereka sudah tak lagi merasakan perhatian dan kasih sayangmu yang datang di setiap pagi dan sore hari. Kau bisa berjam-jam bicara dengan mereka, aku bahkan harus mengingatkanmu ketika Magrib tiba. “Sudah malam, masuklah, jangan sampai kau masuk angin”, pintaku selalu hampir setiap hari. Tapi janganlah bergundah hati, aku selalu membersihkan mereka, memberi makan, dan menyampaikan salammu setiap pulang dari sini.

Berjam-jam aku menunggu sore datang agar segera bisa melangkah menjumpaimu.

Lalu adzan Ashar datang memanggil, aku segera mengambil koko itu lagi, dan pergi untuk bersujud. Kali ini lagkahku lebih bergegas, seolah saja asam uratku telah gugur bersama air wudlu. Iya, kau pasti tahu, setiap sore tiba, aku selalu bergegas.

Hingga aku tiba di sini, duduk di sampingmu yang telah lama tidur di dalam tanah itu.

Anisa, aku sungguh tak tahan lagi melewati sisa hidupku yang sendiri. Mati ini rasanya lama sekali. Sudah tak kuat lagi memandang dapurmu yang telah reot. Tak sanggup lagi membersihkan taman bungamu yang selalu mewangi. Sudah tak kuat lagi tidur di samping bantalmu yang lusuh. Sesungguhnya aku juga sudah tak kuat lagi pergi ke masjid dengan baju koko pemberianmu.

Bukan karena asam uratku yang telah penuh. Bukan karena tulang rusukku yang terus menonjol menandingi keriput di sekujur kulit tubuhku. Bukan pula karena langkahku yang terus melemah. Bukan, bukan karena itu semua. Sejujurnya karena aku tak sanggup lagi hidup sendiri dengan kenangan kita.

Tapi percayalah,walau kini dihadang renta, aku tidak akan menyerah hingga datang waktu membawa kita untuk bertemu. Aku ingat selalu marahmu yang meledak jika aku mudah berserah sebelum berusaha. Di hari-hari ketika kau dijemput sakitmu, kau bahkan masih marah kala aku duduk menangis. “Jangan menangis, aku mati bukan karena ingin meningalkanmu!”, bentakmu saat aku memeluk tubuh kurusmu sambil tersedu.

Aku tidak akan menyerah, aku tidak sudi untuk menyerah Anisa. Aku tidak akan berhenti melawan asam uratku yang menahanku untuk datang menjumpaimu setiap sore menjelang. Aku tidak akan gugur karena kesendiranku yang melewati masa tua seorang diri. Aku akan selalu datang, duduk di sampingmu, membawakanmu bunga, mengirimmu doa dan membaca sajak yang paling kau suka. Sajak yang terus merawat masa tua kita dari menyerah.

Hingga besok datang dan membawaku tertidur nyenyak bersamamu. Di samping nisanmu.

Jadi, mari ku bacakan lagi sajak itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun