Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Story Collector

udah ah! | brontoaji19@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Sajak Seorang Tua

18 September 2015   17:51 Diperbarui: 18 September 2015   22:44 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Geniuse Beauty)

Sore ini, aku duduk di sampingmu. Sore yang sudah setiap hari.

Aku datang hanya untuk hal yang sama. Aku juga datang untuk waktu yang sama. Tidak pernah tidak, tidak pernah terlambat. Ya, kau paling tidak suka dengan telat, sama bencinya dengan lupa.

Kau tahu, tadi pagi aku pergi ke pasar. Membeli sekaleng beras, dua ikat sayur kangkung, dan sedikit ikan asin. Uang simpanan sisa pensiun kita memang tinggal sedikit, tapi tenanglah, kita terbiasa melewati masa sulit sebagai guru rendahan bukan ?

Di pasar, aku bertemu banyak murid-murid kamu, juga muridku. Mereka memintaku mampir, sekedar bertanya kabar, ada juga yang memberi lembar rupiah. Tapi aku menolak itu, kita masih punya sisa simpanan pensiun. Lebih dari itu, guru tidak mengabdi untuk mengharap belas kasih muridnya di masa pensiun tiba, bukan ?

Oh ya, murid-murid kita telah banyak juga kisahnya. Mereka telah juga menuju tua, seperti kita berdua. Ah, jika ingat masa mengajar dulu, kamu memang lebih galak dari aku. Setiap muridmu tak ada yang berani menantang amarahmu. Tapi, seperti aku, mereka tahu, marahmu karena khawatir masa depan untuk menantang mereka sendiri-sendiri. Setiap malam sebelum tidur, kau selalu cemas akan murid-muridmu. Kau memang istri dan guru yang selalu penuh welas asih. Terkadang aku merasa kau naif, lupa, bahwa setiap manusia terlahir untuk menjalani takdir sejarahnya masing-masing. Namun begitulah kau adanya, seorang Ibu, yang tak pernah bisa melupakan masa kecil anak-anak yang kau asuh. Murid-muridmu itu semoga selalu mendoakanmu.

Aku kemudian pulang dari pasar. Membersihkan sayuran, mencuci beras, dan menggoreng ikan asin itu. Kompor itu, hasil dari gaji pertamaku, masih juga menemani dapurmu yang telah semakin reot. Juga tunggu api, telah pecah beberapa sudutnya. Pernah aku ingin mengganti semua, tapi kau lebih suka dengan yang lama. “Biar saja begitu, jangan diganti, karena aku lebih suka memasak dengan barang-barang hasil dari keringat kerjamu”, katamu.

Sesudah memasak, membersihkan tungku apimu, aku mengatur meja makan, satu piring kesukaanku, satu piring lagi kesukaanmu. Satu gelas kesukaanmu, satu gelas kesukaanku, meletakkanya bersebelahan. Kau tidak suka duduk berhadapan, kau selalu bilang, “karena kita melewati hidup dengan berdampingan, bukan dengan berhadap-hadapan”. Kau tahu, aku belum berhenti mengaturnya, seperti kebiasaan kita, ketika kau masih memasak, akulah yang mengatur meja makan.

Lalu kita akan duduk bersebelahan, makan dengan nikmat sambil sesekali aku mencium keningmu yang terus keriput itu. Kamu selalu tahu menghasilkan masakan yang nikmat, walau hanya ikan asin, nasi putih dan sambal terasi. Sesudah makan, aku terus pergi mencuci piring-piring kita. Piring-piring yang menjadi saksi dari keringat kerja dalam masa yang tidak pernah mudah. Membersihkannya dan meletakkan kembali di rak kayu yang aku buat sendiri.

Aku sekarang pergi ke kamar kita. Rasa-rasanya badanku lelah sekali, tenagaku seperti terkuras habis membawa sepasang kakiku yang makin lemah. Sudah beberapa hari terakhir, aku merasa seperti ini. Telapak dan jemari kakiku rasanya lebih keram dari yang sudah. Asam uratku mungkin sudah penuh tapi aku tak pernah bisa berpisah dengan kangkung, kau tahu bukan ?

Hingga aku tertidur barang beberapa saat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun