Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Beras Plastik, Kopi dan Kita

23 Mei 2015   21:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:40 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_419635" align="aligncenter" width="270" caption="Setengah Kopi Hitam/dok.pri"][/caption]

Kemarin malam, 22 Mei 2015, pada perjalanan darat dari Samuda, Sampit hingga ke Palangkaraya, kami mampir makan di salah satu rumah makan. Rumah makan Banjar, demikian rumah makan itu bernama. Saya memesan udang goreng dan ikan saluang, lalu pergi menunggu di meja makan bersama teman-teman yang lain.

Sembari menunggu lauk pesanan dipanaskan, saya pergi mengambil sayuran. Di atas meja, telah disediakan sayur yang berkuah dan sayur dengan bumbu kacang. Saya memilih yang kedua, ada potongan sayur pare yang pahit empuk dan kacang panjang rebus juga taoge. Ketika hendak mengambil nasi, ada dua dandang besar yang bertuliskan “ beras Banjar” dan “beras Jawa”. Saya mengambil yang “beras Jawa” dan kembali ke meja makan.

Belum ada peristiwa khusus yang mengendap di pikiran saya saat itu selain juga masih lelah menempuh perjalanan darat sekitar 5 jam dan perjalanan lewat daerah aliran sungai sekitar 3 jam.

***

Pagi harinya, sesudah menyeduh kopi hitam pabrikan, saya duduk membaca koran Kompas edisi Sabtu, 23 Mei 2015. Kopi pahit di pagi hari seolah sengatan yang memulihkan “keawasan” atas peristiwa. Sengatan pahitnya juga memulihkan dari kecenderungan lupa yang ikut serta dibawa lelah perjalanan.

Apalagi, hampir sekitar dua atau tiga bulan saya memang tidak lagi membaca koran Kompas karena berkegiatan di wilayah terpencil dari ibu kota Kalimantan Tengah.

Di halaman utama, ada kabar dari konser Boyzone, boys band yang zaman SMA dulu liriknya lumayan sering jadi soundtrack hati yang sedang dibalut “jatuh cinta remaja”, it’s only words, and words are all I have, to take your heart away. Akan tetapi, kabar konser reuni Boyzone di Jakarta itu seolah “hiburan semu” jika kita memindah mata dan membaca berita tentang nestapa yang harus ditanggung oleh para pendamping desa yang nasib kesejahteraannya tidak jelas.

Lantas, pindah ke lembar ekonomi, ada berita tentang langkah cepat pemerintahan Joko Widodo membangun pelabuhan-pelabuhan laut yang terintegrasi. Lalu, ada satu catatan pendek untuk isu yang sedang heboh, Beras Plastik. Catatan ini dibuat oleh Andreas Maryoto, diberi judul Pemalsuan Pangan, dengan sub judul Sejumlah Keanehan.

Dalam kasus Beras Plastik itu, ada sejumlah keanehan kata Maryoto. Misalnya, mengapa beras plastik itu hanya muncul di pulau Jawa ?. Motif (ekonomi) apa yang mendasarinya ?. Karena, penyebaran di pulau Jawa tidak menjanjikan keuntungan karena merupakan wilayah “lumbung beras”. Mestinya, si pelaku menyasar wilayah luar Jawa seperti Kalimantan Barat, Bangka dan Kepulauan Riau.

Keanehan lainnya yang diidentifikasi Andreas Maryoto adalah jika memang beras itu mengandung polivinil klorida atau pun plastik, bukan sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk mencampurnya dengan beras.

Jadi, menurut Andreas Maryoto, kasus Beras Plastik ini, dari segi motivasional pelaku, tidaklah urusan bisnis murni. Sebabnya jelas, kalau ditakar, kerugiannya lebih besar ketimbang untungnya. Walau cukup yakin dengan sejumlah keanehan yang diidentifikasinya, Andreas Maryoto lebih menyotoroti betapa pertahanan kita atas kebutuhan pokok mudah sekali digoyang. Maka ditunggulah aksi nyata pemerintah untuk menormalisasi kondisi.

***

Pada malam harinya, ketika menyimak berita di Tv One, untuk urusan beras plastik yang mulai menciptakan “panik sosial” ini, Menteri Perdagangan sudah meminta Kepolisian dan BIN untuk ikut menyelidiki dan mencari tahu siapa master mind yang bekerja di balik peredarannya.

Lho, seserius apa ? Mengapa Badan Intelijen Negara sampai harus terlibat ?

Sebagai yang awam dalam urusan tata kelola perdagangan beras, apakah kasus beras plastik ini bukan semata “pertempuran di area perdagangan beras” namun pertempuran itu sendiri sudah menyentuh batas-batas keamanan atau kedaulatan negara ?.  Dengan maksud lain, beras plastik adalah "senjata untuk uji coba delegitimasi kepemimpinan Jokowi-JK" yang sedang gencar-gencarnya mewujudkan langkah swasembada beras ?.

Jika benar kecurigaan Anderas Maryoto bahwa ini bukan semata motif ekonomi, maka serua Menteri Perdagangan bisa jadi menguatkan “sejumlah keanehan” yang dicurigai tadi. Menggunakan beras yang merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia Indonesia sebagai senjata ekonomi untuk mengacaukan tata kelola perdagangan beras dan pada ujungnya mengkondisikan delegitimasi kepemimpinan politik jelas adalah skenario perang politik yang canggih.

Akan tetapi, agar kita terhindar dari "jebakan teori konspiratif", maka kondisi sedemikian memang harus segera dibereskan pemerintahan Jokowi dengan segenap daya upaya. Saya setuju dengan Andreas Maryoto, kuncinya terletak pada langkah-langkah solutif pemerintah.

Saya lantas ingat, pada satu kesempatan menikmati beras raskin di sebuah desa. Beras yang dibagikan untuk penduduk miskin tak terkecuali yang berdomisili di tepian sungai. Beras itu sendiri,sebagaimana saya ikut memakannya, mengeluarkan bau dan berwarna kecoklatan. Saya merasa beras seperti ini sungguh tidak layak dibagikan kepada penduduk miskin. Pengalaman menikmati beras riskin yang bau itulah yang melahirkan cerita pendek Hutang Dua Sahabat, sebuah cerpen yang coba melukiskan persahabatan dua orang yang baru berjumpa dalam satu setting kemiskinan penduduk tepi sungai yang mengiris hati.

***

Saya jadi membayangkan, andai saja kondisi yang terjadi pada beras itu juga menular kepada kopi ?. Kopi, kita tahu bersama, kebutuhan atasnya mungkin sudah seperti beras itu sendiri. Ia dinikmati pada pagi dan sore hari. Tak sedikit yang sudah tak bisa melewati hari tanpa jamuan kopi. Lalu tiba-tiba saja, seluruh Indonesia gundah lagi marah, kopi menjadi barang yang membahayakan karena bercampur senyawa kimia tertentu.

Para pengopi lalu berhenti, warung kaki lima sepi, angkringan sunyi, sudut-sudut terminal, ruang tamu rumah-rumah tak lagi hangat bercakap lama-lama bersama segelas kopi. Orang-orang bergerombol, tapi mereka tidak lagi ngobrol tentang  kopi yang susah diperoleh.

Mereka mulai ngobrol tentang bagaimana sebaiknya sebuah kepemimpinan politik disudahi agar kopi bisa kembali hadir tanpa marabahaya dan kegaduhan karena panik sosial. Maksud saya, “panik sosial” karena beras plastik ini sudah harus segera dibereskan. Jika benar ada mafia disana, pemerintah harus bisa membongkar dan menghancurkan jejaring itu sampai habis. Jangan sampai ia menular pada komoditi lain yang fungsinya begitu lekat dengan sehari-hari kehidupan masyarakat.

Semua bangsa membangun membutuhkan era yang tenang, stabil namun tetap kritis. Sebuah era dimana energi produktif dan kreatif bisa menemukan ruang ekspresi penyalurannya dalam segala lini untuk mempercepat perbaikan-perbaikan di sektor-sektor kehidupan yang menopang kehidupan bersama menjadi lebih baik.

Sebagaimana juga, dalam hemat saya, ditunjukan presiden Joko Widodo dengan terus membuka komunikasi politik dengan kekuatan-kekuatan yang kemarin saling bersaing. Sesudah pemilu, yang dilakukan tidaklah lagi mengurusi kegaduhan dan merawat perseteruan yang kekanak-kanakan. Sebagai bangsa, kita memang harus terus mengonsolidasikan demokrasi, bukan saja untuk membangun kultur politik yang cerdas dan dewasa, namun juga untuk menciptakan keseimbangan yang dinamis agar dapat bahu membahu mendorong terwujudnya pembangunan yang selaras dengan amanah konsititusi dan cita-cita kemerdekaan.

Dengan kata lain, ke-Kita-an yang harus terus dirajut dalam modalitas kebersamaan bersaudara setanah air dan sebangsa merdeka, jangan sampai terjebak dalam “tradisi retak” karena “barang kebutuhan” serupa beras dan kopi mulai diserang oleh aksi-aksi berbahaya seperti kasus beras plastik ini.

Demikianlah cerita mengapa beras, kopi dan kita sebenarnya saling berikat.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun