Jadi, menurut Andreas Maryoto, kasus Beras Plastik ini, dari segi motivasional pelaku, tidaklah urusan bisnis murni. Sebabnya jelas, kalau ditakar, kerugiannya lebih besar ketimbang untungnya. Walau cukup yakin dengan sejumlah keanehan yang diidentifikasinya, Andreas Maryoto lebih menyotoroti betapa pertahanan kita atas kebutuhan pokok mudah sekali digoyang. Maka ditunggulah aksi nyata pemerintah untuk menormalisasi kondisi.
***
Pada malam harinya, ketika menyimak berita di Tv One, untuk urusan beras plastik yang mulai menciptakan “panik sosial” ini, Menteri Perdagangan sudah meminta Kepolisian dan BIN untuk ikut menyelidiki dan mencari tahu siapa master mind yang bekerja di balik peredarannya.
Lho, seserius apa ? Mengapa Badan Intelijen Negara sampai harus terlibat ?
Sebagai yang awam dalam urusan tata kelola perdagangan beras, apakah kasus beras plastik ini bukan semata “pertempuran di area perdagangan beras” namun pertempuran itu sendiri sudah menyentuh batas-batas keamanan atau kedaulatan negara ?. Dengan maksud lain, beras plastik adalah "senjata untuk uji coba delegitimasi kepemimpinan Jokowi-JK" yang sedang gencar-gencarnya mewujudkan langkah swasembada beras ?.
Jika benar kecurigaan Anderas Maryoto bahwa ini bukan semata motif ekonomi, maka serua Menteri Perdagangan bisa jadi menguatkan “sejumlah keanehan” yang dicurigai tadi. Menggunakan beras yang merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia Indonesia sebagai senjata ekonomi untuk mengacaukan tata kelola perdagangan beras dan pada ujungnya mengkondisikan delegitimasi kepemimpinan politik jelas adalah skenario perang politik yang canggih.
Akan tetapi, agar kita terhindar dari "jebakan teori konspiratif", maka kondisi sedemikian memang harus segera dibereskan pemerintahan Jokowi dengan segenap daya upaya. Saya setuju dengan Andreas Maryoto, kuncinya terletak pada langkah-langkah solutif pemerintah.
Saya lantas ingat, pada satu kesempatan menikmati beras raskin di sebuah desa. Beras yang dibagikan untuk penduduk miskin tak terkecuali yang berdomisili di tepian sungai. Beras itu sendiri,sebagaimana saya ikut memakannya, mengeluarkan bau dan berwarna kecoklatan. Saya merasa beras seperti ini sungguh tidak layak dibagikan kepada penduduk miskin. Pengalaman menikmati beras riskin yang bau itulah yang melahirkan cerita pendek Hutang Dua Sahabat, sebuah cerpen yang coba melukiskan persahabatan dua orang yang baru berjumpa dalam satu setting kemiskinan penduduk tepi sungai yang mengiris hati.
***
Saya jadi membayangkan, andai saja kondisi yang terjadi pada beras itu juga menular kepada kopi ?. Kopi, kita tahu bersama, kebutuhan atasnya mungkin sudah seperti beras itu sendiri. Ia dinikmati pada pagi dan sore hari. Tak sedikit yang sudah tak bisa melewati hari tanpa jamuan kopi. Lalu tiba-tiba saja, seluruh Indonesia gundah lagi marah, kopi menjadi barang yang membahayakan karena bercampur senyawa kimia tertentu.
Para pengopi lalu berhenti, warung kaki lima sepi, angkringan sunyi, sudut-sudut terminal, ruang tamu rumah-rumah tak lagi hangat bercakap lama-lama bersama segelas kopi. Orang-orang bergerombol, tapi mereka tidak lagi ngobrol tentang kopi yang susah diperoleh.