[caption id="attachment_419635" align="aligncenter" width="270" caption="Setengah Kopi Hitam/dok.pri"][/caption]
Kemarin malam, 22 Mei 2015, pada perjalanan darat dari Samuda, Sampit hingga ke Palangkaraya, kami mampir makan di salah satu rumah makan. Rumah makan Banjar, demikian rumah makan itu bernama. Saya memesan udang goreng dan ikan saluang, lalu pergi menunggu di meja makan bersama teman-teman yang lain.
Sembari menunggu lauk pesanan dipanaskan, saya pergi mengambil sayuran. Di atas meja, telah disediakan sayur yang berkuah dan sayur dengan bumbu kacang. Saya memilih yang kedua, ada potongan sayur pare yang pahit empuk dan kacang panjang rebus juga taoge. Ketika hendak mengambil nasi, ada dua dandang besar yang bertuliskan “ beras Banjar” dan “beras Jawa”. Saya mengambil yang “beras Jawa” dan kembali ke meja makan.
Belum ada peristiwa khusus yang mengendap di pikiran saya saat itu selain juga masih lelah menempuh perjalanan darat sekitar 5 jam dan perjalanan lewat daerah aliran sungai sekitar 3 jam.
***
Pagi harinya, sesudah menyeduh kopi hitam pabrikan, saya duduk membaca koran Kompas edisi Sabtu, 23 Mei 2015. Kopi pahit di pagi hari seolah sengatan yang memulihkan “keawasan” atas peristiwa. Sengatan pahitnya juga memulihkan dari kecenderungan lupa yang ikut serta dibawa lelah perjalanan.
Apalagi, hampir sekitar dua atau tiga bulan saya memang tidak lagi membaca koran Kompas karena berkegiatan di wilayah terpencil dari ibu kota Kalimantan Tengah.
Di halaman utama, ada kabar dari konser Boyzone, boys band yang zaman SMA dulu liriknya lumayan sering jadi soundtrack hati yang sedang dibalut “jatuh cinta remaja”, it’s only words, and words are all I have, to take your heart away. Akan tetapi, kabar konser reuni Boyzone di Jakarta itu seolah “hiburan semu” jika kita memindah mata dan membaca berita tentang nestapa yang harus ditanggung oleh para pendamping desa yang nasib kesejahteraannya tidak jelas.
Lantas, pindah ke lembar ekonomi, ada berita tentang langkah cepat pemerintahan Joko Widodo membangun pelabuhan-pelabuhan laut yang terintegrasi. Lalu, ada satu catatan pendek untuk isu yang sedang heboh, Beras Plastik. Catatan ini dibuat oleh Andreas Maryoto, diberi judul Pemalsuan Pangan, dengan sub judul Sejumlah Keanehan.
Dalam kasus Beras Plastik itu, ada sejumlah keanehan kata Maryoto. Misalnya, mengapa beras plastik itu hanya muncul di pulau Jawa ?. Motif (ekonomi) apa yang mendasarinya ?. Karena, penyebaran di pulau Jawa tidak menjanjikan keuntungan karena merupakan wilayah “lumbung beras”. Mestinya, si pelaku menyasar wilayah luar Jawa seperti Kalimantan Barat, Bangka dan Kepulauan Riau.
Keanehan lainnya yang diidentifikasi Andreas Maryoto adalah jika memang beras itu mengandung polivinil klorida atau pun plastik, bukan sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk mencampurnya dengan beras.