Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politik dan Rasa Sakit

19 Mei 2015   13:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:50 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Secara psikologi, sakit hati mudah sekali menyeruak ketika harapan dan kenyataan saling bertolak belakang, saling menegasi satu sama lain, saling meniadakan satu sama lainnya. Pada bentuk paling ekstrim, ketika perwujudan kenyataan justru makin mematikan harapan. Rasa sakit membenih, tumbuh dan mekar berseri dalam “dialektika negatif” seperti ini, termasuk tanpa terkecuali, di dalam politik. Sebab politik bukan sebatas tentang siapa memilih siapa, tetapi juga tentang siapa berharap apa.

Ketika kabar berita mengatakan kalau Presiden ke-7 Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo, mengajak untuk bersakit-sakit dahulu, rasa-rasanya kok kita seperti dibawa pada sejenis kesadaran yang amnesia. Kurang sakitkah kita selama ini sebagai warga negara yang cukup setia memilih dalam pemilu ?. Kurang sakitkah kita hidup berbangsa dan bernegara selama ini ?.

Kurang sakit hatikah kita ketika tahu tunjangan anggota legislatif itu naik, hidup terus berlimpah fasilitas, sementara untuk mencari makan sehari-hari saja kita, “rakyat alas kaki” harus berkelahi dulu di jalanan, pasar, terminal, bahkan gang-gang sempit lokalisasi pelacuran ?.

Kurang sakitkah hati kita sebagai warga negara alas kaki yang tergusur dari tanah-tanah perkotaan karena dikapling-kapling untuk membangun superblock, pemukiman elit, dan sebangsanya, sementara sebagai penjual kaki lima, pedagang VCD bajakan, anak-anak jalanan, Gepeng, terus saja dihajar kebijakan pentungan dari aparatur berseragam atas nama ketertiban, kenyamanan, kebersihan dan penegakkan hukum ?.

Kurang sakitkah kita hidup berpuluh generasi di desa tepia sungai tanpa listrik, akses air bersih, jalan dasar, fasilitas kesehatan yang memadai, fasilitas penerangan negara yang konsisten namun kita tidak pernah merancang pemberontak dan revolusi sosial ?. Jangankan memikirkan revolusi, membenci elit politik dan pejabat pemerintahan saja kita enggan ?.

Terus, Kurang menahan sakit jenis apalagi kita ini pak Joko Widodo ?.

Tapi mungkin, agar tidak tenggelam dalam sedu sedan mengharu biru, ajakan presiden kita baca saja sebagai atribut tambahan pada kaidah yang sudah diterima bahwa politik adalah seni mengelola kemungkinan. Dari ajakan presiden ini, kita fahami saja “politik seni sebagai mengelola rasa sakit”.

Dengan kata lain, rasa sakit yang lazimnya berdimensi “psiko-politik” itu kita transfigurasi menjadi “diskursus kekuasaan” saja. Dari hati, kita pindakan ke pikiran, dari rasa galau ke renungan pengalaman. Sehingga, dalam kalimat pertanyaan diskursif, rasa sakit itu difigurasi menjadi : bagaimanakah rasa sakit dikelola dalam politik ?. Bagaimanakah rasa sakit menjadi bagian dari pengaturan kekuasaan ?. Bagaimana rasa sakit dikelola dalam hubungan negara,masyarakat dan pasar ?.

Politik, Pembangunan dan Rasa Sakit

Salah satu cara untuk mendiskursuskan rasa sakit hati dalam politik adalah mendiskusikan bagaimana kekuasaan itu bekerja, apakah ia tunduk, taat dan patuh pada tujuan bersama atau justru bekerja sebaliknya. Dalam pengalaman Indonesia, maka bagaimana kekuasaan itu beroperasi dalam terang cita-cita kemerdekaan atau justru bekerja dalam cita-cita segelintir kelas oligarki.

Menurut saya, untuk menelisik rasa sakit kolektif sebagai rakyat, kita harus memeriksa kembali pembangunan. Apalagi pembangunan yang menyedot duit tidak sedikit itu, wajib kita curigai dengan bertanya pembangunan ini sedang melayani siapa, melayani kelas sosial yang mana ?.

Pada sejarah pembangunan Indonesia,sudah banyak kritik-kritik yang diberikan. Mulai dari mazhab Modernisasi, Teori Ketergantungan, Teori Post Ketergantungan, hingga ke Sistem Dunia. Juga kritik-kritik yang belakangan datang dalam semangat feminisme, etno-developmentalisme, eco-developmentalisme, juga internasionalisme baru.

Saya bukan ahli di kritik pembangunan. Saya juga adalah jelata jenis alas kaki dari sebuah republik. Di sini, saya hanya hendak mengutip salah satu teks dalam kritik (teori) pembangunan. Lebih tepatnya, kritik sosiologi atas pembangunan. Kritik ini lahir dari permenungan sosiologis seorang Peter. L. Berger, salah satu penerus tradisi Weberian dari cabang Fenomenologi.

Berger menulis kritiknya itu dalam buku Piramida Kurban Manusia, sebuah kritik sosiologi atas model pembangunan gaya kapitalisme dan gaya sosialisme. Buku ini pernah diterjemahkan oleh LP3ES.

Yang mau saya kutip dalam kebutuhan diskursus tentang politik dan rasa sakit adalah wasiat Berger agar dalam membangun, sejak dalam rencananya, pemerintah sebaiknya “menghitung” dua indikator. Dua indikator konseptual yang berhubungan dengan, menurut saya, meminimalisir rasa sakit itu sebagai rakyat jelata.

Seingat saya, kedua konsep itu adalah kalkulasi luka-luka (calculus of pain) dan kalkulasi makna-makna (calculus of meaning). Maaf jika nanti ada perbedaan penjelasan atau pemaknaan atas dua konsep ini, hal mana dikarenakan saya tidak cukup memiliki kemudahan untuk mengakses bacaan itu lagi. Pasalnya, mengakses listrik dan sinyal komunikasi yang stabil dan membahagiakan pelanggan saja masih susah, sehingga membuat saya tidak bisa berselancar terlalu lama dunia maya.

Kalkulasi luka-luka, dalam pandangan saya, lebuh merujuk pada perhitungan atas kerugian-kerugian material yang diderita rakyat karena pembangunan. Misalnya saja, berapa hektar tanaman yang gagal panen gegara pemerintah lebih sibuk dengan mengimport produk pertanian dari negara maju. Berapa berapa mulut yang kehilangan pekerjaan gegara pemerintah membangun pabrik di atas lahan pertanian tanpa ganti rugi yang memadai. Singkat penjelasan, kalkulasi luka-luka berhubungan dengan perhitungan matematika ekonomi. Maka, rakyat yang menjadi korban adalah daftar angka-angka yang bisa dihitung.

Sedangkan kalkulasi makna-makna (calculus of meaning) berhubungan dengan memahami makna, dunia dalam, ruang batin dan kesadaran, dari mereka yang akan menanggung dampak dari pembangunan. Dunia makna adalah semesta nilai, norma, pengetahuan, cara pandang hidup, keyakinan, dan sejenisnya, yang hidup dalam rakya calon korban. Negara dan pembangunan harus menghitung hal ini agar tidak menyusun piramida kurban manusia.

Misalnya, ketika Freeport diberikan izin menambang di Papua oleh rezim Soeharto itu, sudahkah cara pandang dan kearifan anak-anak suku sungai yang hidup berpuluh generasi di muaranya dihitung oleh pemerintah ?. Atau ketika membangun kawasan perdagangan dan jasa mengikuti tuntunan ideologi kota pantai, sudahkah “dunia makna kaum nelayan” tradisional kusam di sekitar pesisir pantai yang menanggung dampaknya diperhitungkan secara seksama ?.

Perhitungan dimaksud bukanlah kalkulasi ekonomi atau kuantifikasi korban, tetapi berusaha masuk dan menemukan gejala-gejala atau memperkirakan konsekuensi seperti rasa keterasingan diri, anomi sosial, “inferioritas kolektif”, “potensi amok sosial”, dan sejenisnya yang tidak mudah dimaknai hanya dengan membaca statistik BPS atau versi Bank Dunia misalnya.

Apakah solusinya memperbaiki metodologi AMDAL ?. Mungkin saja, namun perkara kita adalah, bukan sedikit AMDAL yang menjustifikasi peminggiran dan pemiskinan sosial.

Maka, jika kembali pada ajakan untuk “menahan rasa sakit dari Jokowi itu”, rasa sakit jenis apa yang beliau maksudkan ?. Merujuk pada Berger, kita bisa balik bertanya, sudahkah kabinet kerjanya menghitung dua jenis perhitungan ini ?. Sudahkan negara menghitung calculus of pain dan calculus of meaning dari rakyatnya ?.

Saya kurang faham, bisa jadi saya juga salah memahami maksud si Berger karena menuliskan kembali teorinya berdasarkan ingatan atas bacaan saja. Mudah-mudahan saya tidak sesat kutip dan sesat faham. Selain juga, dalam kabinet kerja kan lebih banyak ahli dari pada kelas kerucu kayak saya yang mengeluh dan mengadu di Kompasiana.

Tapi, wahai pak Presiden yang mulia, masalahnya mungkin jauh lebih parah kalau kita, kelas kerucu dan jelata alas kaki ini, sudah tidak tahu cara mengeluh dan mengadu lagi. Tuhan saja menguji hambanya seturut daya tahan dan kemampuan masing-masing, masa iya negara kebangetan menguji rasa sakit rakyatnya ?.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun