Akhir-akhir ini jagad wacana politik nasional menyebut demokrasi era digital adalah era pencitraan. Era politik pencitraan adalah sebuah era dimana citra diri personal si politisi dibangun dengan memanfaatkan kekuatan media (termasuk sosial media) untuk menggalang dukungan publik. Sebuah era yang juga bisa jadi miskin pertarungan gagasan besar. Atau era dimana publik tidak mengambil peduli pada diskusi-diskusi yang lebih fundamental semisal tema kebangsaan, keadilan, dan kerakyatan.
Pada era pencitraan, selain citra diri politisi didistribusi melalui kekuatan media, juga diproduksi melalui 'industri tubuh'. Sederhananya industri tubuh adalah mesin-mesin kultural-politik yang bekerja dengan tujuan melahirkan jenis tubuh (termasuk disini bahasa tubuh) yang bisa memuaskan dahaga publik akan sosok tertentu. Karena itu berhubungan dengan industri tubuh, laku politik pencitraan cenderung berbiaya mahal, bukan semata fokus pada visualitas.
Dalam era politik pencitraan, gagasan dan karakter mudah mati. Orang lebih suka pada penampilan. Maka era ini segera saja bisa menjadi era pergunjingan, era penuh gosip, dan era dimana 'kebohongan yang berulang bisa menjadi kebenaran yang kukuh'. Juga tampaknya sebuah era dimana amnesia sejarah begitu kuat; era dimana kita yang me menjadi bagian dari generasi hari ini yang asing mendengar nama Tan Malaka, Sjahrir, atau Bung Hatta. Tak tahu wajah mereka, apalagi gagasan mereka dalam sejarah pembentukan bangsa.
Publik atau kita lebih sering dirayu agar setia memelototi televisi dan mengakrabi wajah-wajah yang berseliweran disana. Yang punya stasiun televisi bisa selalu nongol melalui iklan, kuis atau sesi khusus. Kehidupan politik tak banyak bedanya dengan kehidupan selebritas. Tokoh bisa lahir karena kebanyakan muncul di televisi, bukan karena kerja keras di level akar rumput. Politik lalu menjadi perburuan popularitas.
Teknik yang lebih canggih konon katanya menggunakan survei-survei bayaran. Para penjual jasa survei konon bisa merakayasa ihwal yang berkaitan dengan popularitas sosok tertentu. Lalu mereka akan konferensi pers untuk menyampaikan itu. Dan, pada akhirnya, publik terbenam dalam lautan hasil survey.
Tapi tak semua hal di era pencitraan adalah buruk adanya.
Karena ada hukum sejarah setiap era akan menjadi kuburan bagi mereka yang menumpang untuk berburu kesenangan semata-mata dengan mengkhianati kepentingan umum. Cepat atau lambat.
Misalnya saja di era pencitraan ini, tak sedikit wajah cantik yang berkubang lumpur korupsi. Atau paling tidak ada dalam pusaran itu. Juga wajah-wajah ganteng. Cantik-Ganteng tak imun terhadap perilaku tamak dan korup. Sama juga tak sedikit wajah-wajah pandai yang terperosok dalam kubangan yang sama. Kepintaran yang bertingkat tinggi bukan garansi bakal imun terhadap ketamakan.
Sesudah era pencitraan yang menyebalkan itu, lalu hadir sejenis wajah orang desa dalam pertarungan kekuasaan. Wajah yang sepertinya dibentuk dari bekerja keras dan nyata di lapangan. Wajah yang kelihatan berusaha melayani orang-orang kecil. Wajah yang kikir sapuan kosmetik. Wajah yang juga tak belepotan dengan bahasa asing. Wajah yang sudah pasti jauh dari cantik-ganteng dan intelek.
Pengamat menyebut wajah-wajah ini sebagai manifestasi dari jenis man of action. Mereka menunjukkan cara mengelola kekuasaan dengan bertindak dan bertindak. Dari urusan ikut sibuk mengatur lalu lintas hingga menyiapkan kampung bagi pemukiman kumuh misalnya. Mereka lalu disebut sedang menghadirkan 'demokrasi dari jalanan'.
Usaha melahirkan 'demokrasi dari jalanan' bukan tanpa cela dan cacat. Tak jarang ia dikritik sebagai sebentuk aksi individual yang hanya memberi dampak kecil terhadap sistem. Dengan maksud lain hanya melakukan perbaikan yang sifatnya karikatural-artifisial. Sistem dasarnya tetap saja dipenuhi jejaring oligarkhi-dinasti juga monsterverbond lainnya.