Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memaknai Status Facebook Jokowi Tentang Papua

30 Desember 2014   00:30 Diperbarui: 21 Juli 2018   21:01 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai anak manusia yang lahir dan besar di Tanah Papua, saya benar-benar penasaran seperti apa sambutan warga disana dengan kedatangan bekas pengusaha mebel ini. 

Seperti apa antusiasme warga Papua ? Apakah seperti masa sekolah dulu, ketika Soeharto ke Jayapura dan kami dengan seragam sekolah berjejer di pinggir jalan seperti pagar betis sambil mengibarkan bendera merah putih dari plastik yang diikat di batang lidi sementara 'The Smiling General' hanya melambaikan tangan dengan senyumnya yang khas dari dalam mobil ? Karena rasa penasaran itu, juga kerinduan yang abadi untuk Papua, sepanjang hari saya mencari berita yang bertutur tentang kegiatan Jokowi di sana. 

Tentang dia memberi sambutan pada acara Natal, tentang dia mengunjungi kampung nelayan di Sorong, tentang dia meresmikan jembatan, tentang dia menitip pesan kepada kepala daerah, dan lain sebagainya. Dia bicara tentang rencana membuka sekat-sekat isolatif di Papua, menyerukan pesan dialog dan perdamaian, juga kehendak kepemimpinannya menjadikan Papua sebagai salah satu fondasi dari Poros Maritim Dunia, Hingga, dalam penelusuran saya terhadap berita tentang aktifitas presiden yang baru dilantik ini, saya menemukan satu alamat website yang bernama 'Jokowi Diary'. (alamatnya : http://jokowidiary.blogspot.com/ ). 

Web ini sengaja dibuat untuk mengumpulkan segala pemberitaan tentang Jokowi. Termasuk juga statusnya di jejaring sosial seperti facebook. Dalam salah satu nukilan statusnya di facebook itulah, ada kata-kata yang sungguh menggugah dan begitu mendasar. Status itu adalah " Melihat begitu semangat dan cintanya warga Papua terhadap negerinya Indonesia, hati saya terharu penuh...inilah wajah bangsaku, inilah bagian cita-cita Bung Karno 'politik sebagai pembebasan manusia'...Saatnya membangun Papua, membangun tanpa menyakiti. Saatnya mendengar warga Papua. Rakyatlah gudang gagasan..." (bisa dicek di  : https://id-id.facebook.com/IrHJokoWidodo) 

Ketika saya mericek langsung status itu di laman facebook Jokowi, memang benar adanya. 

Status itu dibuat pada tanggal 27 Desember 2014, pukul 08:22. Sampai artikel ini dibuat, sudah ada 61.630 orang yang memberi jempol. Apa yang menggugah dari status tersebut ? Dalam hemat saya, ada dua hal yang sangat mendasar. Pertama, bahwa politik adalah usaha pembebasan manusia. Jika politik sebagai cita-cita mulia pembebasan manusia, apakah dari kebodohan, kemiskinan, ketakutan, ketertindasan, keterpinggiran, diskriminasi, kekerasan, dendam sosial, dan lain sebagainya, maka pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi kawasan, indiustrialisasi kelautan, modernisasi kekuatan militer dalam satu negara bangsa tidak boleh mensubordinasi kemanusiaan. 

Politik yang berbasis pada terang kemanusiaan yang bisa menjaga hutan-hutan Papua jika menjadi jalur rel kereta api kelak tidak berfungsi selayaknya jalan raya pos Daendels di tanah Jawa yang melayani kepentingan kelas (kolonial) berkuasa dan menyingkirkan penduduk lokalnya. Juga tidak membuat tol laut menjadi sirkuit bagi kapal-kapal modern nan gagah lantas membuat nelayan tradisional di Sorong hanyalah penonton yang memungut remah-remah hasil lautnya sendiri. 

Singkat kata, sudah cukup manusia Papua dan manusia Indonesia dimana pun menjadi tumbal-tumbal pembangunan. Yang kedua adalah membangun tanpa menyakiti. Sejarah pembangunan di Indonesia tentu tidak lepas dari tarik menarik kepentingan global dan susunan kelas yang berkuasa di Indonesia. 

Misalnya saja, ketika Soeharto berkuasa, ia mengadopsi mazhab developmentalisme yang dikritik banyak pihaksebagai varian baru dari ideologi kapitalisme yang secara sengaja memang disiapkan oleh Blok Barat dalam perang pengaruhnya melawan Soviet yang Komunis. Praktik developmentalisme ala Soeharto secara berangsur-angsur menciptakan struktur negara otoriter birokratis rente. Satu formasi negara yang bertumpu pada kekuatan biroktaris dan otoritarianisme (militer) serta menghidupi kroninya dengan perburuan rente (rent seeking). Kritik ini pernah disampaikan ahli teori pembangunan Arief Budiman dan Mochtar Mas'ud di tahun 1990-an. 

Pengalaman pembangunan seperti ini jangan sampai berulang lagi. Frasa politik sebagai pembebasan manusia dan membangun tanpa menyakiti bersifat saling memperteguh, saling mengafirmasi. Hanya pembangunan yang melayani kemanusiaan-lah yang tidak akan pernah menyakiti. Tanpa bermaksud menafikan daerah lain yang juga mengalami ketertinggalan, Tanah Papua membutuhkan pendekatan yang fokus pada kemanusiaan secara sungguh-sungguh dan nyata. Dimana di dalamnya pendekatan militer bukan menjadi ujung tombak terdepan, juga bukan modal skala besar yang menjadi 'tuan'nya. 

Kemanusiaan akan mensyaratkan dialog sebagai salah satu mendium untuk merealisasikan wujudnya. Kemanusiaan tidak pernah tumbuh bersama kekerasan, baik yang diproduksi dari ranah sipil pun kekerasan produksi negara. Suara-suara dengan nada yang sama sudah lama digaungkan banyak elemen, di dalam negeri juga luar negeri. Maka sebagai manusia yang tidak canggih dalam berwacana, Jokowi harus berani memimpin jalan baru ke arah pembangunan Tanah Papua yang mencerminkan visi politik sebagai pembebasan manusia dan membangun tanpa menyakiti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun