[caption id="attachment_394234" align="aligncenter" width="600" caption="KompasianaTV (Kompasiana)"][/caption]
Kemarin siang (30/01/2015), ketika sedang rehat dari rapat saya menerima telpon dari salah satu staff Kompasiana. Sebelumnya, pada tanggal 27 Januari 2015, saya telah mendapat pesan dari admin Kompasiana yang intinya :Â terkait keaktifan Anda menulis di Kompasiana, kami mengundang Anda untuk mengikuti diskusi via Google Hangout yang disiarkan di KompasTV.
Saya merasa dihargai dengan undangan tersebut. Namun sayang sekali saya tidak bisa menyambut ajakan diskusi karena saya berkegiatan di wilayah yang 'tanpa sinyal dan tanpa televisi'. Sejujurnya ada keingingan untuk bisa terlibat dalam diskusi itu sebagai bentuk partisipasi wacana bersama Kompasianer lainnya demi menegakkan prinsip : ESENSI BUKAN SENSASI.
Sekurang-kurangnya, jika diminta berpendapat dalam diskusi, maka undangan admin adalah sebuah permintaan bagi saya untuk menunjukkan pertanggungjawaban atas apa yang saya tulis di Kompasiana. Yah, paling minimal, saya memang benar-benar ada. Hehehe.
Tapi, yang sekiranya penting adalah mari kita bicara prinsip ESENSI BUKAN SENSASI.
Mari kita simak sebentar link ini : https://www.youtube.com/watch?v=Q6YtsJwgtsQ
Link itu adalah video yang merekam kritik terhadap tayangan televisi yang dinyanyikan oleh anak-anak. Kritik yang sungguh telak !. Betapa kehadiran televisi telah begitu jauh menggerogoti dan menghinakan kesadaran manusia. Tak jarang, tayangan televisi telah menjadi referensi dalam mengambil tindakan keseharian, khususnya bagi anak-anak dan remaja.
Lembaga-lembaga tradisional seperti keluarga, sekolah, atau taman pengajian dan sekolah minggu yang menjadi unit sosialisasi kesadaran anak-anak kini tidak bisa lagi menafikan 'daya subversif' yang dikandung dalam industri tontonan via televisi. Dengan kata lain, jika tidak memiliki 'kapasitas kelola yang kritis', televisi dan isinya akan menjadi aparatus hegemonik yang membuat kehidupan nyata menjadi sesederhana serial sinetron atau tayangan FTV.
Di sisi yang lain, keberadaan stasiun televisi berita di negeri ini, juga masih belum mulus melepaskan ketegangan kepentingan di dalam dirinya sendiri. Maklum saja, pemiliknya adalah juga bagian dari inti elit nasional. Stasiun televisi mudah sekali tersandera dalam kepentingan politik pemiliknya.
Karena kondisi yang demikian, kehendak Kompasiana TV untuk menjaga ESENSI BUKAN SENSASI adalah juga ajakan untuk menghidupkan dan menyebarluaskan 'kritisisme kewargaan' di tengah kecenderungan kontra-produktif dari tayangan stasiun televisi yang sudah eksis sejauh ini. Pada hemat saya, kritisisme kewargaan adalah sendi dasar yang akan menjaga rute dan takdir sejarah yang dipilih oleh Kompasiana plus Kompasiana TV.
Perlu digarisbawahi bahwa kritisisme kewargaan itu tentu bukan semata-mata menyangkut isu-isu politik. Tapi meliputi seluruh isu yang berhubungan dengan hidup sehari-hari manusia kongkrit. Karena itu, konsekuensi logisnya, Kompasiana TV akan menjadi arena bagi tumbuh kembang pluralisme gagasan sekaligus menjadi senjata untuk melakukan counter-hegemony terhadap tontonan televisi berwatak mainstream atau yang masih gagal move-on dari interest politik elit.