[caption id="attachment_393786" align="aligncenter" width="600" caption="Jokowi-JK/Kompas.com"][/caption]
Bagaimana rasanya jika 'hari-hari penuh kegaduhan politik' di kepemimpinan Jokowi-JK berlangsung tanpa keberadaan Kompasiana ?. Apa menariknya kegaduhan itu kalau kita, sebagai warga biasa, hanya bisa menyaksikan itu melalui televisi atau membaca surat kabar dan laman berita situs on line ? Atau katakanlah kita sebagai warga biasa hanya menulis di dalam blog pribadi yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri ?.
Saya kira, kegaduhan politik itu hanya akan jadi monopoli elit politik dan para pengamat yang memiliki akses ke pada pusat-pusat informasi. Dan kita sebagai warga biasa hanya akan menjadi penonton yang gelisah.
Kita, yang hidup hari ini, adalah generasi digital. Ada pakar yang menyebutkan jika perkembangan teknologi informasi telah membuat dunia yang kita huni ini seperti dilipat, kehilangan batasan geografis, dan, tumbuh dalam kultur hibriditas terus menerus. Oleh perkembangan yang revolusioner ini, kita sebagai eksponen generasi digital bergulat memaknai hidup dalam ketegangan  yang real dan yang virtual.
Selain itu, ada juga pendapat pakar yang mengatakan bahwa perkembangan teknologi informasi yang menciptakan jagad virtual memiliki potensi anarki. Maksudnya memiliki potensi anarki dalam dirinya adalah dalam jagad virtual lalu lintas informasi selalu bergerak cepat dan terus bergerak dengan kecenderungan tak memiliki pusat atau menghancurkan yang serba pusat (de-centering).
Apa sebab ?.
Informasi yang disuntikan memenuhi jagad virtual itu menghamburkan apa saja yang ingin dihamburkan secara cepat dan tanpa henti yang mana tak ada satu otoritas--moral pun politis--pun yang bisa menghentikannya. Tidak ada 'pusat sensorik' dominan yang bisa memaksa satu pemaknaan tunggal lagi seragam. Yang tersedia adalah dunia dalam serakan pesan dan makna. Atau yang terburuk, yang tersedia adalah kedangkalan, peniruan dan 'amnesia'.
Terlebih dalam dinamika kehidupan/dunia politik. Dunia politik  adalah representasi dari kehidupan panggung. Lakon yang ditampilkan pada 'ruang depan' tak selalu mewakili 'realitas ruang dalam'. Gerak yang ditampilkan di media massa tak otomatis gerak yang sejatinya sedang berjalan. Hal berikut yang membuat politik itu rumit karena--selain sulit dibaca sebagai dunia panggung tadi-- dinamikanya berlangsung begitu cepat.
Penyebaran informasi yang memotret kegaduhan politik yang menandai perjalan 100 hari Jokowi-JK juga berkembang dengan perspektif dan kecepatannya masing-masing. Untuk melihat dinamika (: kecepatan dan perspektif penyajian) itu mudah saja. Kompasioner tinggal membandingkan bagaimana Kompas.com dan Tempo.co memberitakan kegaduhan politik ini.
Persoalannya, dalam posisi kita hanya 'membaca', di tengah adu cepat dan perspektif itu, kita rentan menjadi 'subyek yang anonim lagi pasif'. Benar bahwa pengelola laman berita itu menyediakan kolom untuk komentar pembaca, tapi saya rasa itu tidak cukup untuk mewakili penafsiran kita terhadap situasi yang berjalan.
Kompasiana sebagai Ruang Publik (Politik) Virtual