Aku adalah seorang perempuan yang pada bulan April nanti akan genap berusia 22 tahun. Kegiatanku ba'da maghrib adalah mengajar ngaji anak-anak yang ada di sekitar rumahku. Walaupun sebenarnya tak banyak yang bisa aku ajarkan pada mereka. Mereka akan datang sebelum adzan maghrib berkumandang dan melaksanakan sholat di rumahku. Beberapa hari lalu, sebelum masuk ke bulan Ramadhan, beberapa anak memintaku untuk mengadakan makan bersama sebelum memasuki bulan suci. Karena keantusiasan mereka, aku pun langsung mengiyakan permintaan mereka dan menyuruh mereka untuk membawa bekal dari rumahnya masing-masing.
Besok siangnya tiga orang anak perempuan mendatangiku di rumah. Dua orang dari mereka masing-masing membawa kotak kecil, terlihat seperti kotak bekas sepatu. Entah apa isi dari kotak itu. Kemudian dengan senyum yang lebar dan gelagat sedikit malu-malu, mereka memberikan kotak itu kepadaku.Â
"Ini hadiah buat teteh" ucap mereka yang langsung pergi begitu saja setelah memberikan kotak itu. Tapi aku masih bisa mendengar suara dan tawa mereka yang sebenarnya masih ada di luar rumahku. Sementara itu aku melihat kotak yang diberikan mereka padaku. Di atas kedua kotak tersebut ada tulisan tangan mereka yang dihiasi dengan gambar love dan bunga-bunga kecil yang mereka gambar sendiri. Di satu kotak tertulis "Teteh ini hadiah dari aku, maaf ya hadiahnya kecil. Teteh makasih ya udah ngajarin kita" sementara di kotak satu lagi tertulis "Teteh ini hadiah dari aku. Teteh maaf ya kalau aku punya salah sama teteh" aku tersenyum akan bagaimana polos dan lugunya mereka. Mereka yang sebenarnya masih ada di luar rumahku nampaknya mengintip lewat jendela. Aku mendengar salah satu dari mereka berkata "eh teteh mau buka kotaknya" yang kemudian diiringi tawa kecil mereka. Mereka kemudian masuk kembali ke rumah karna ingin melihat aku membuka hadiah yang mereka berikan.Â
"teteh ayo buka hadiahnya" ucap mereka. Aku pun membuka salah satu kotak itu, dan ternyata isinya adalah dua buah pulpen yang salah satunya sudah tidak ada penutupnya. Selain itu ada juga sebuah serutan pensil yang berwarna krem. Aku hendak membuka kotak yang satu lagi, tapi aku sedikit kesulitan membuka kotak itu hingga akhirnya mereka pun membantuku. Terlihat sebuah pulpen dan penggaris yang ujungnya sudah patah. Dan di dalamnya juga terdapat kelopak-kelopak bunga berwarna ungu serta potongan-potongan kertas putih. Aku menahan tawa, bukan karna isi dari kotak itu tapi karna usaha mereka yang sebegitunya menyiapkan ini untukku. Aku kemudian berterima kasih pada mereka dan menanyakan alasan mereka memberiku hadiah tersebut. Tapi tentu saja, mereka hanya tersenyum tanpa menjawab. Mereka kemudian kembali pamit pergi dari rumahku. Aku kemudian menyimpan kotak-kotak itu di bawah meja belajar. Sesaat setelah itu salah satu dari ketiga anak tadi kembali menghampiriku.Â
"Teteh, aku malam nanti gak akan ngaji." ucapnya dengan suara sedikit pelan
"kenapa?" tanyaku.
"Di rumah aku gak ada nasi, jadi aku gak bisa bawa bekel" jelasnya. Mendengar itu aku merasa empati dan kasian.Â
"Gak papa, datang aja dulu. Gak bawa bekel juga gak papa. Pokoknya harus datang dulu. Buat makanan nanti bakal ada disini" ujarku. Dia hanya menggelengkan kepala. Aku menegaskan kembali padanya bawa dia harus datang meskipun tak bawa bekal. Aku memintanya tetap datang bukan agar dia hanya melihat teman-temannya makan sementara dia tidak. Aku menyuruhnya karna aku sendiri yang nanti akan memberikannya makanan sehingga dia bisa makan bersama dengan teman-temannya.Â
Maghrib pun tiba, anak-anak mulai mendatangi rumahku. Mereka begitu antusias karna akan makan bersama. Mereka saling bertanya mengenai bekal yang mereka bawa. Dari anak-anak yang sudah datang aku tak melihat Ica, anak yang waktu siang berkata tak akan ngaji karna tak punya nasi untuk bekal. Aku bertanya ke anak-anak lain tentang kemana Ica. Salah satu dari mereka menjawab bahwa ibu Ica bilang kalau Ica gak akan ngaji karna gak ada bekal. Sungguh, aku menyesal mendengar itu. Dalam hatiku juga timbul sebuah penyesalan, kenapa tadi aku tak memberikannya uang saja untuk sekedar membeli mie instan agar dia bisa punya bekal untuk makan bersama dengan teman-temannya. Sepanjang acara makan bersama anak-anak itu aku terus kepikiran tentang Ica. Apakah sudah makan atau belum atau bagaimana dan sedang apa dia sekarang? penyesalan karna tak memberikannya apapun saat siang pun benar-benar aku rasakan.Â
Setelah anak-anak selesai makan dan pulang, aku membicarakan tentang Ica dengan ibuku. Nampaknya ibu sudah tau tentang kondisi Ica dan ibunya. Ibuku bercerita bagaimana mereka terkadang harus berpuasa karna di rumah mereka tak ada makanan. Mendengar itu sebenarnya perasaan menyesalku semakin bertambah. Aku merasa bagaimana sebagai seseorang yang mengajarinya ngaji setiap hari, tidak tau tentang kondisi mereka. Jujur saja, aku merasa buruk saat itu. Walau begitu, dari cerita Ica dan ibunya juga aku kemudian sadar bagaimana aku yang kurang mensyukuri apa yang telah aku dapatkan hingga saat ini. Tuhan telah memberikan banyak kenikmatakan kepadaku, dari makanan atau pun hal lainnya. Tapi terkadang aku masih mengeluh meski dengan semua yang telah aku dapatkan. Padahal di luaran sana masih banyak orang seperti Ica dan Ibunya. Jangankan untuk besok, hari ini akan makan atau tidak pun mereka tidak tahu. Aku berharap Tuhan memberikan kebahagiaan dan kemudahan bagi Ica dan Ibunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H