Seperti tambur ditabuh bertubi-tubi, hatiku digendangi iringan peringatan sebuah janji yang menahun, aku tahu akan kah aku diterimanya kembali? Seperti padaku ia mengatakan “kamu pergi untuk kembali”. Itu lah kenyataan yang sebenarnya, soal hatiku yang di cambuk di antara kebohongan dan kejujuran. Morat-marit aku mengatakannya, hanya sehelai puisi yang ku taburkan dalam tuangan kejujuran yang pekat ini.
Untuk seseorang yang ku sayangi :
Kepada rumput yang tersungkur
ku bertanya menumpu rasaku
Berharap damai kan terlihat
Berharap nirwana kan datang padaku
Aku berharap sang dewa menyapa hatiku
Memberi seuntai senyuman
Memberi sekecup ciuman dalam kalbu
Menyejukan hati
Menentramkan jiwa
Menyiram hati oleh air cinta
yang datang dan pergi
Mengharapkan semua damai dan abadi
Indah selamanya
Selama aku berada di dunia ni
Aku akan selalu ada di setiap langkahmu
Menemaniku hingga akhir ragaku
Kau akan selalu di hatiku
Bersemi dan berbunga setiap harinya
Menyinari terus hari-hariku,
mengharumkan setiap impianku,
membuatnya menjadi nyata
dan semoga ini bukan khayalan.
Khayaln yang selalu mengganggu
Setiap detik langkahku
Ku hanya tahu engkau satu
Tak ada yang lain di hati.
(SSSI, Tika Mustikasari Sosialone)
***
Menderita kemiskinan membuatku kalang kabut. Kesana –kemari hanya untuk mencari uang seperti tidak ada kata untuk mencari selain uang. Apa tidak pernah terlintas untuk mencari kebahagiaan dan kasih sayang. Setiap orang miskin di dunia, apakah akan sama seperti ku menelangsakan diri sendiri. Menjadikan raga ini hanya untuk dibanting –banting orang. Hanya untuk dibalas dengan gaji. Sekilas membosankan menjadi orang miskin. Semua orang membilang, “bersyukurlah!” aku tahu maknanya bagi mereka. Karena yang berkata orang kaya yang tak pernah merasakan penderitaan kami. Mereka hanya mampu berkata apapun tanpa mampu menjadi orang miskin, apapun yang dilakukan orang miskin. Orang kaya hanya bisa berpoya –poya saja. Aku mendesah. Aku mengelus dada sambil berkata “Astagfirullahaladzim… betapa sombongnya tatkala raga sudah di atas raga” yang artinya ketika manusia sudah mengenal kenyamanan dan kemapanan ia tak pernah melihat kebawah. Selalu ingin disederajatkan dengan orang kaya lainnya.
“Ibu… Timah lulus sekolah”
“Nje Alhamdulillah gusti ngatur suhun”
Aku baru saja lulus dari sekolah. Aku ingin sekali melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Agar gaji ku besar. Agar bisa membantu orangtuaku, Ibu dan Ayahku. Sayang sekali sepertinya itu sebuah hayalan fatamorgana. Kau tau fatamorgana, biar ku jelaskan :
***
“Mas Danang?”