Hari raya telah tiba. Mayoritas kita berhenti sejenak dari segala aktifitas rutin untuk merayakannya. Pun andai ada yang tidak merayakannya tetap kecipratan libur hari raya. Mulai dari pegawai, buruh sampai anak sekolah libur. Namun ada yang tidak rehat, mereka adalah para pedagang makanan. Bisnis kuliner naik daun. Warung makan, mulai dari yang sudah punya nama hingga yang dadakan penuh oleh pengunjung. Demand lebih besar dari supply. Maka tidak heran jika kemudian bermunculan pebisnis dadakan. Â Ibarat petani, saat-saat seperti sekarang ini adalah masa panen raya bagi mereka.
Sebetulnya panen raya sudah mereka rasakan sejak hari pertama Ramadan. Dan semakin hari intensitasnya terus meningkat. Ekonomi menggeliat. Ramadan benar-benar bulan penuh berkah.
Pada minggu ketiga Ramadan seperti keluarga lainnya saya sempatkan berbuka puasa bersama di sebuah mall di bilang Bekasi Barat. Betapa kagetnya saya karena pada pukul 17 lebih sedikit WIB, tempat makan di sudah full booked. Hei waktu berbuka puasa masih lama nih! Â Akhirnya saya dan keluarga merapat di sebuah kedai kopi. Satu-satunya tempat yang tersisa. Beberapa keluarga yang senasib dengan kami menyusul kemudian. Â
Panen raya juga dirasakan oleh pedagang dadakan. Menjelang berbuka, di jalan raya sekitar rumah saya berjajar pedagang takjil dadakan. Buku-dan catatan resep masakan khas Ramadan dibuka kembali. Es buah, lontong dan gorengan, kolak pisang, kolak pacar cina, kolak biji salak sampai asinan memanggil-manggil.
Mbak Nia, Â ART di rumah selepas beberes punya kerja sambilan. "Saya bantu-bantu tetangga sebelah ya Bu," katanya. "Kamu bantu apa?" tanya saya. Â Tetangga dekat rumahnya jualan es buah, Â gorengan dan lontong. Tiap hari mulai pukul 10.00 wib hingga sore hari Mbak Nia dikasih tugas motong-motong buah. Pepaya, Â Nanas, Bengkoang dipotong dadu. Tidak tanggung-tanggung saban hari satu termos besar es buah tandas di serbu pembeli. "Dijual berapa, satu cupnya?" tanya saya. Â "Lima ribu. Â Harganya ditulis pakai karton kok Bu di meja dagangan," jawabnya.
Soal harga yang transparan ini penting tidak hanya bagi pembeli, tetapi juga bagi para penjual. Karena salah satu keinginan setiap penjual adalah menciptakan pelanggan-pelanggan fanatik. Untuk pengusaha kuliner selain soal rasa dan pelayanan yang baik, Â salah satu cara dengan memberikan transparansi harga. Jangan karena tidak transparan soal harga pelanggan menjadi kapok. Â Untuk usaha makanan, media promosi terbaik berasal dari cerita-cerita para pelanggan.
Beberapa hari yang lalu kita dihebohkan dengan berita sebuah rumah makan menetapkan harga "mencekik" untuk pembelinya. Terlepas dari valid atau tidaknya berita itu kiranya kita bisa mengambil pelajaran. Khususnya bagi para pembeli. Agar hal yang demikian tidak menimpa kita. Â Alih-alih mau senang-senang setelah makan-makan malah jadi misuh-misuh tidak karuan.
Tips pertama, cari rumah makan yang mencantumkan daftar harga.Seperti saya sampaikan di muka tranparansi itu penting. Â Saya merada nyaman berbelanja jika pedagang sejak awal sudah terbuka mengenai harga. Dengan harga yang transparan, pembeli jadi bisa mengukur diri dan melakukan adjusment dengan kondisi keuangan masing-masing.
Kedua adalah jangan malu bertanya. Pun seandainya kita tidak menemukan rumah makan yang mencantumkan harga, tips kedua bisa dipilih. "Ah nanti dikira pelit." "Jangan kaya orang susah ah nanya harga." Sebagian kita mungkin merasa gengsi atau sungkan menanyakan  harga. Apalagi kalau pergi  bersama pacar atau keluarga besar.  Menurut saya perilaku ini justru berbahaya.  Bisa menjadi bumerang  bagi diri sendiri. Â
Hati-hati saja!
Untuk makanan,  kita tidak bisa bilang begini,"aduh kok mahal. Tidak jadi deh." Ingat yang kita beli adalah makanan. Kalau pesanan sudah dimakan masa iya mau dikeluarkan lagi. Tidak mungkin kan? Terlebih kalau tempat makan tidak  menerima pembayaran selain lewat pembayaran tunai.  Masa iya  mau tinggalkan KTP sebagai jamninan.  Alih-alih mau bergaya malah dapat malu yang tak terlupakan. Â