Langkah awal Presiden Jokowi dalam menapaki pemerintahannya adalah membentuk kabinet yang solid. Kabinet yang dulu digadang-gadang akan mengalami perampingan demi efisiensi anggaran hanyalah slogan dan wacana. Jokowi - JK tak mampu menahan hasrat dan tekanan dari partai politik koalisinya.
Publik menilai Jokowi gagal dalam menyusun kabinet yang ramping dan tidak tumpang tindih. Penilaian tersebut mengacu pada postur kabinet Jokowi yang berjumlah 34 kementerian, dengan 16 menteri akan berasal dari partai politik.
Janji Jokowi untuk merampingkan kabinet atau restrukturisasi postur kabinet dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi, yang diharapkan menghindarkan tumpang tindih kewenangan kementerian, akhirnya gagal. Jokowi hanya berhasil di tingkat wacana, tetapi praktiknya nol besar.
Kabinet bukanlah bagi-bagi jabatan seperti yang pernah diungkapkan oleh Jokowi, bahwa koalisi Indonesia hebat adalah koalisi tanpa syarat. Namun kenyataannya hampir separuh jumlah kabinet Jokowi berasal dari partai politik. Jokowi – JK tersandera partai koalisi Indonesia hebat. Pemerintahan tanpa syarat yang pernah diwacanakan oleh Jokowi – JK cuma isapan jempol.
Kegagalan dalam membentuk kabinet ramping tak bisa dilepaskan dari orang-orang yang ada di sekitar Jokowi. Ada kecurigaan elite parpol pendukung hingga wakil presiden terpilih Jusuf Kalla mempunyai kepentingan terhadap jatah kursi menteri untuk parpol.
Sebenarnya ini sudah menjadi rahasia umum. Dalam koalisi besar pasti ada deal dan kontrak politik menyangkut jatah menteri. Seperti kita ketahui Jusuf Kalla awal tidak menginginkan restrukturisasi postur kabinet, dengan alasan kebutuhan bidang yang perlu digarap dengan luas wilayah yang besar mengharuskan hal tersebut.
Padahal, publik sudah berharap Jokowi mampu melakukan lompatan yang dahsyat dibandingkan dengan kabinet sebelumnya, artinya terjadi tarik menarik kepentingan disini. Partai partai pendukung koalisi Indonesia hebat tentu punya bargaining yang kuat terhadap Jokowi - JK, apalagi Jokowi -JK butuh dukungan penuh di parlemen walau secara hitung hitungan kuantitas akan sulit mengalahkan supremasi koalisi merah putih.
Jangan pernah memaksakan seseorang menempati posisi menteri tertentu karena alasan pertemanan, pernah berjasa atau teman se daerah. Sekali lagi kabinet bukanlah tempat bagi bagi jabatan. Jika Jokowi - JK melakukan hal tersebut maka siap-siap saja menerima risiko kegagalan. Apalagi jika sengaja mencari-carikan tempat bagi pihak tertentu, itu merupakan kegagalan. Kesuksesan tak selalu tergantung banyaknya pejabat tetapi tergantung kemampuan, tetapi jika terlalu ramping juga hanya akan menimbulkan kompleksitas masalah yang tak tertangani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H