Jika Anda lihat nama pengguna saya - tutdi - mungkin terlintas bahwa saya adalah orang Bali, padahal bukan.
Di tengah banyaknya akun ini itu yang perlu nama pengguna, cukup pusing juga kalau harus menggunakan nama asli, karena sudah didahului orang yang berkebetulan memiliki nama yang sama atau memilih nama pengguna yang sama dengan nama asli kita. Lalu kenapa TutDi?
Adalah Adik Ibu saya yang setiap saya kembali ke Jakarta senang sekali memanggil saya dengan sebutan: "Ketut". "Apa kabar Ketut?" demikian celotehnya setiap saya bertemu dengan beliau. Kebetulan juga saya adalah anak ke empat yang kalau di Bali memang biasa memiliki sebutan Ketut. Paman saya mungkin menggoda saya dengan panggilan sedemikian karena saya sudah cukup lama tinggal di Bali, hampir dua dekade saat tulisan ini dibuat.
Jadi dengan gabungan Ketut dan bagaimana saya dipanggil dalam percakap sehari-hari: "Di", jadilah saya menggunakan TutDi untuk beberapa akun di dunia maya.
Selain karena almarhum Paman yang sering memanggil saya demikian, nama pengguna ini juga semacam kenang-kenangan tentang generasi pendahulu saya yang masih ikut trend memiliki anak lebih dari dua. Jika Anda berjalan-jalan ke Bali, mungkin akan sempat melihat sticker bertuliskan "Save Ketut". Sebuah issue yang ada karena sejak adanya program KB dari Pemerintah, kebanyakan keluarga masa kini hanya memiliki dua anak saja, jadi jumlah Ketut memang semakin sedikit, karena jika sekeluarga di Bali hanya memiliki dua anak saja, maka anak yang terakhir akan disebut sebagai Made, Kadek, atau Nengah (lahir kedua). Melihat sticker itu, saya jadi berpikir: "Wah... bisa jadi... saya adalah bagian dari Ketut terakhir di dunia ini", mungkin bagus juga kalau di abadikan.
Demikian sedikit cerita singkat tentang nama pengguna saya. :-)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H