Tangkuban perahu 19 derajat celsius. Sangat sejuk. Cuaca cerah, view Tangkuban perahu semakin menggoda para pelancong yang sudah membawa android terbaru. Tidak sabar ingin mengambil angle terbaik.
Kamis 2 Januari 2025. Pukul 09.45. Suhu udara di Mount"Kang saya bantu ambilkan foto?” kata seorang bapak sambil mendekati saya. Senyum di wajahnya terus mengembang sambil terus menyapa setiap orang. Saya lihat beliau juga sambil membawa dagangannya. Di pergelangan tangan kiri penuh dengan gelang yang terbuat dari batu asli dari Tangkuban perahu. " Coba akang pegang. Ini gelang dari batu biasa dan ini dari batu asli Tangkuban perahu." Kemudian saya coba pegang. Memang beda. Yang satu hangat. Yang satu hangat. Yaitu gelang yang bahannya bukan dari batu asli Tangkuban perahu. Dan yang satu dingin. " Ah ini hangat kan karena sudah terkena panas matahari pak" kata saya. Kemudian tukang penjual gelang tadi tertawa.
Namanya kang Suryana. Usia berkisar 57 tahun. Jualan gelang di Tangkuban perahu sudah hampir 15 tahun. " Coba akang posisi tangannya begini." Kata beliau ketika mengarahkan gaya foto saya. Kemudian klik...klik klik. Dan hal itu juga sama ketika beliau memotret anak nomer dua saya Geist Amira Rahma. Juga di arahkan dengan detail. Beliau juga memberikan tutorial kepada saya bagaimana cara mengambil angle gambar dengan background Tangkuban perahu. Agar kawahnya terlihat semua. Meskipun saya berdiri di pinggir Tangkuban perahu. Bahkan beliau juga mengajarkan bagaimana cara memfoto agar saya seperti kembar. Artinya gambar saya ada dua. Dengan sabar dan telaten kang Suryana terus memberikan tutorial tentang cara mengambil gambar atau angle foto pada setiap pengunjung obyek wisata gunung Gunung Tangkuban Perahu. Seakan lupa bahwa kang Suryana adalah pedagang gelang, yang seharusnya fokus menjual gelangnya. Bukan malah mengajari atau membantu setiap orang yang datang ke Tangkuban Perahu.
Inilah Diferensiasi. Dan Growth Mindset. Kang Suryana jualan gelang. Tapi dengan sukarela memgambilkan gambar atau memotretkan siapa saja. Bahkan hasil “jepretannya” atau angle fotonya sangat bagus. Kalau hanya menawarkan dagangan itu sudah biasa, artinya setiap pedagang sudah lumrah akan selalu menjual dagangannya kepada siapa saja yang ditemui. Tetapi bagaimana cara pedagang tersebut menawarkan dagangannya? Itu adalah sebuah tantangan yang tidak semua pedagang mampu melakukannya. Akhir – akhir ini sepertinya kita semakin sering mendengar tentang sepinya pasar. Bagi orang yang malas belajar maka yang muncul adalah menyalahkan siapa saja. Dari datangnya pasar online, pajak yang semakin tinggi, ekonomi duania yang sedang tidak baik-baiknya dan bahkan ada yang sampai menyimpulkan “Tuhan tidak adil”. Dia merasa sudah taat beribadah, tapi kok dagannya sepi terus, sedangkan temannya yang tidak pernah beribadah kok laris terus. Iniliah manusia Fixed Mindset. Yang tidak mau berusaha untuk belajar dari kegagalan yang dilakukannya. Bagi kang Suryana menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah. Maka beliau belajar membaca situasi. Mengamati setiap pengunjung yang rata-rata pasti membawa android. Itu artinya pasti mereka(para pengunjung tangkuban perahu) ingin foto semua.dan pasti butuh bantuan orang lain.Kesempatan sukses bisa datang kepada siapa saja yang terus berjuang untuk mau belajar dan terus belajar.” Terima kasih kang Suryana, ini hasil fotonya bagus, saya beli gelangnya 50 buah ya “kata salah satu pengunjung setelah dijeptert oleh kang Suryana. Pembeli gelang kang Suryana tidak sekedar membeli gelang. Mereka membeli karya dan jasa.dalam pandangan Aristoteles yaitu tentang”eudaimonia” yang berarti kebehagiaan sejati. Maka kang Suryana telah melakukannnya. Yaitu bahagia dengan membuat bahagia orang lain. Man As’adunnas? Man As’adannas:” Siapakah manusia yang laing bahagia? Mereka yang membuat orang lain bahagia. Buatlah para pelanggan kita bahagia maka kita akan bahagia. Kalau kita memberikan pelayanan biasa-biasa saja maka siap-siaplah ditinggalkan para pelanggan. Bahkan ketika saya potong rambut ternyata ada tambahan layanan pijatnya.
“ Kalau kamu kalah pandai, maka kamu tidak boleh kalah tekun” kata Prof Imam Robandi pada buku Change and Movement. Kalimat tersebut mengingatkan saya pada sebuah kisah yang pernah saya dengar tentang seorang santri yang dianggap “bodoh” oleh gurunya. Kemudian santri tersebut suatu ketika pada saat sedang melakukan perjalanan dan beristirahat di sebuah goa mendengar suara tetesan air. Karena penasaran maka santri tersebut mendatangi sumber suara tersebut. Yaitu tetesan air yang jatuh dari atap goa ke sebuah batu yang ada di bawahnya. Dan tetesan tersebut mampu membuat sebuah batu besar yang keras dan kokoh menjadi berlubang. Terlepas kisah tersebut fiktif atau nyata. Setelah melihat tetesan air yang jatuh dengan pelan pada sebuah batu. Santri tersebut mendapatkan inspirasi tentang sebuah proses. Tentang sebuah ketekunan dan dampaknya adalah tumbuhnya kesadaran untuk terus belajar dan belajar. Lihatlah negara-negara yang “besar” yang memiliki banyak kemajuan. Pasti di dalamnya atau warga yang tinggal di negara tersebut adalah manusia-manusia yang memiliki habbit belajar. Memiliki ketekunan atau kesabaran yang tinggi. Satu-persatu simpul-simpul keberhasilan akan dirangkai. Maka tradisi juara piala dunia sepak bola dimiliki negara-negara yang memiliki tahapan pelatihan sepak bola yang runtut, komplit dan sangat teratur. Dari pembinaan usia dini sudah diperhatikan tentang materi yang harus diajarkan sampai dengan nutrisi para pemain atau atlit sepak bola yang harus terus dikawal. Mindset orang tua juga terus dibangun. Tentang kesadaran bahwa iklim di keluarga seorang atlit harus benar-benar “nyambung” dengan iklim di pembinaan sepak bola. Rasanya kita masih ingat kisah viral seorang atlit sepakbola yang langganan masuk Timnas. Yaitu pada saat atlit tersebut mengupload makan malamnya yaitu mie instan. Maka beribu komentar netizent langsung berdatangan. Memprotes tentang pola makan yang tidak disiplin dari atlit tersebut.
Guru yang senantiasa berangkat ke sekolah dengan tepat waktu akan “melahirkan” siswa yang memiliki karakter disiplin. Guru yang kretaif ketika mendampingi siswa di dalam ruang kelas akan melahirkan siswa yang penuh ide dan gagasan. Guru yang berpakain dengan rapi akan melahirkan siswa yang sangat rapai dalam berpakaian. Guru yang gemar menyapa para siswanya akan melahirkan siswa yang senang bertemu dan membahagiakan orang lain. Guru yang senang menulis akan melahirkan siswa yang senang menulis dan menerbitkan buku. Dalam istilah bahasa jawa “guru : digugu lan ditiru” yaitu didengarkan perkataan baiknya dan diikuti keteladannya. Semua berawal dari sebuah ketekunan. Saat ini yang tidak bisa digantikan dari sosok guru atau orang tua di rumah adalah keteladanannya. Kalau kepandaian atau kepintaran, kita sudah kalah dengan robot. Apalagi dari segi efisiensi, maka robot sangat menguasai seperti kecepatan menjawab.
Matahari di atas Tangkuban Perahu semakin tinggi. Hangat semakin terasa. Para pengunjung semakain banyak berdatangan. Saya lihat kang Suryana semakin sibuk. Dari nenek-nenek sampai balita, minta diajari cara mengambil gambar yang bagus. Berjalan kesana-kemari menghampiri pelanggan setia dengan senyum yang selalu mengembang di wajahnya.tidak lupa selalu mengucapkan: mohon maaf, apakah bisa saya bantu dan terima kasih “. Sampai-sampai tidak terasa bahwa dagangan gelangnya sudah ludes terjual semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI