Sebagaimana juga laporan yang dibuat oleh EETime Europe, dalam proses produksi baterai berkemampuan tinggi, hanya 70-90 persen dari hasil produksi yang terpakai, sisanya berupa produk gagal atau cacat produksi yang akan menjadi limbah baterai. Bahkan banyak baterai yang terbuang begitu hendak dipakai oleh produsen kendaraan dengan alasan kegagalan produksi. Sehingga tantangan bagi produsen baterai listrik untuk menghasilkan baterai yang berkualitas dengan jumlah limbah yang rendah juga menjadi keharusan. Kegagalam produksi baterai yang berujung kepada perusakan lingkungan akibat limbah baterai ini bisa menjadi awal kerusakan lingkungan di kawasan industri baterai. Audit dan keseriusan dalam penanggulangan limbah baterai akan menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga lingkungan sekitar. Kemampuan untuk melakukan daur ulang (recyleability) terhadap cacat produk ini juga mesti mendapatkan perhatian serius dari semua pemangku kepentingan dalam bisnis ini. Sebagai contoh, sebagaimana yang dilaporkan oleh Chemical and Engineering News (2019), hanya 2-3 persen dari limbah baterai Li-ion yang dihantar ke tempat daur ulang di Australia. Bahkan laju daur ulang baterai di Amerika dan Uni Eropa tidak pernah lebih dari 5 persen. Rendahnya laju daur ulang tersebut dapat terjadi karena beberapa hal, seperti adanya hambatan teknis, biaya, isu logistik dan peraturan dan perundangan yang tidak tegas. Untuk itulah, diperlukan kerjasama yang kuat dan berkesenimbungan antara pihak terkait, mulai dari produsen baterai, pemerintah, para peneliti untuk mendapatkan kemampuan baterai listrik yang tangguh dan murah serta memiliki kemampuan daur ulang yang tinggi demi terjaganya lingkungan yang sehat.
Penulis:
Turnad Lenggo Ginta, ST, MT, PhD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H