Mohon tunggu...
Azis Turindra Prasetyo
Azis Turindra Prasetyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Fasilitator dan Staff HRD SAsi

Seorang yang gemar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyibak Tabir Misteri Berdirinya Masjid Agung Karawang (Bagian II)

11 Agustus 2011   08:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:54 15116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_89895" align="alignnone" width="587" caption="Masjid Agung Kabupaten Karawang Jawa Barat "][/caption] Keberadaan Masjid Agung Karawang yang saat ini kokoh berdiri tidak terlepas dari sosok Syekh Quro atau Syekh Hasanudin Penyebar Agama Islam di Jawa Barat Khususnya di Karawang. Ia menjadikan Masjid Agung Karawang sebagai Mercusuar penyebaran agama Islam, kisah dibawah ini merupakan penuturan dari Imam Masjid Agung Karawang yang pernah saya temui beberpa waktu yang lalu. Diceritakan Syekh Hasanudin merupakan putera dari Syekh Yusuf Sidik seorang Ulama Besar dari Champa (Kamboja-red). Ia Kemudian melakukan penyebaran agama Islam ke Nusantara, ketika itu ia berlabuh di pelabuhan Cirebon yang kala itu juga dibawah pengawasan Ki Gedeng Tapa. [caption id="attachment_124663" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi Bagunan Pertama MAsjid Agung Karawang "][/caption] Kemudian Syekh Hasanudin meminta izin untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon kepada Ki Gedeng Tapa yang pada akhirnya menyetujui dan mempersilahkan Syekh Hasanudin menyebarkan keyakinannya. Namun usaha untuk terus melakukan dakwah di cegah oleh kepemimpinan Raja Padjajaran  yang kala itu di pimpin oleh Prabu Angga Larang. Akhirnya guna menghindari pertumpahan darah  Syekh Hasanudin memutuskan untuk meninggalkan pulau Jawa dengan bertolak ke Malaka. Oleh Ki Gedeng Tapa, Syekh Hasanudin dititipkan putrinya yang baru berusia 12 tahun untuk menimba Ilmu Agama Islam, putri Ki Gedeng Tapa ini bernama Nyi Subang Larang. Waktupun berlalu Syekh Hasanudin memutuskan kembali ke PUlau Jawa bersama muridnya Nyi Subang Larang, namun kali ini tidak merapat di Cirebon melainkan memalaui jalur lain yaitu ujung Karawang. Ia beserta Muridnya menyusuri Sungai Citarum dan menambatkan perahunya di Pelabuhan Karawang yaitu Bunut Kertayasa (Saat ini dikenal sebagai Kampung Bunut-red) Syekh Hasanudin kemudian meminta izin kepada penguasa setempat untuk mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat pendidikan (mengaji), tempat tersebut dikemudian hari dikenal sebagai Pesantren Quro (Saat Ini dikenal sebagai kawasan Masjid Agung Karawang) pada tahun 1418 Masehi. [caption id="attachment_124665" align="aligncenter" width="300" caption="Umpak Batu Pertama Masjid Agung Lama : Dok Pribadi"][/caption] Mendengar kabar bahwa Syekh Hasanudin telah tiba dan mendirikan kediaman di Bunut Kertayasa membuat geram Raja Padjajaran kala itu Prabu Angga Larang. Akhirnya ia mengutus puteranya Raden Pamanah Rasa untuk membubarkan pusat pendidikan (Pesantren) Syekh Hasanudin. Singkat cerita Raden Pamanah Rasa datang lengkap dengan pasukan kerajaan menyambangi pesantren Quro, setelah tiba disana ia secara tidak sengaja mendengar alunan merdu ayat suci Al-Quran yang dilantunkan oleh Nyi Subang Larang. Ia kemudian tertarik mendengar lantunan ayat-ayat suci Alquran tersebut yang akhirnya meluluhkan niatnya untuk membubarkan pesantren dan kemabali ke Padjajaran. Sejak peristiwa tersebut Prabu Pamanah Rasa tidak dapat melaupakan kejadian tersebut, ia selalu terngiang akan lantunan suara Nyi Subang Larang yang  melantunkan ayat Suci Alquran, sehingga ia memutuskan datang ke pesantren kembali untuk melamar Nyi Subang larang. Raden Pamanah Rasa akhirnya mendatangi Syekh Hasanudin dan mengutarakan keinginannya untuk mempersunting Nyi Subang Larang. Pucuk dicinta ulam pun tiba, akhirnya lamaran diterima namaun dengan syarat, yaitu mas kawin harus Bintang Saketi (bintang Kerti) yang dilambangkan simbol Tasbih dengan kata lain Prabu Pamanah Rasa harus masuk Islam dan Syarat kedua adalah salah satu keturunan dari anak yang dilahirkan harus menjadi Raja Pajajaran. Akhirnya syaratpun diterima dan pernikahan dilaksanakan di Pesantren Quro, sebagai penghulunya adalah Syekh Hasanudin atau Syekh Quro dan menurut informasi yang di dapat kala itu Nyi Subang Larang berusia 14 tahun dan Raden Pamanah Rasa kemudian menjadi Raja Pajajaran Bergelar Prabu Siliwangi. Dari hasil perkawianan ini dikaruniai tiga orang Anak, yaitu : raden Walangsungsang, Nyi Mas Rarar Santang dan Raden Kean Santang. Kemudian Raden Walangsungsang diberi kekuasan untuk menguasai Cirebon dengan gelar Cakra Ningrat. Menurut cerita sewaktu Raden Walngsungsang dan Nyi Mas Rara Santang Menuntut ilmu di Makkah, Nyi Mas Rara Santang dipersuntung oleh bangsawan Makkah yaitu Syekh Syarif Abdillah, kemudian Nyi Rara Santang mengganti namanya dengan Syarifah Muadaim dan dikaruniai dua orang putra yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Narullah. Pada Tahun 1475 M, Syarifah Muadaim beserta puteranya Syarif Hidayatullah kembali kepulau Jawa, dari situ dikarenakan Pangeran Cakra Buana Telah Sepuh pemerintahan diserahkan kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Sunan Gung Jati, Wallahualam Bisahawab Tulisan Saya Sebelumnya : http://sejarah.kompasiana.com/2011/08/11/menyibak-tabir-misteri-berdirinya-masjid-agung-karawang-bagian-1/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun