Mohon tunggu...
Cahyo Nugroho
Cahyo Nugroho Mohon Tunggu... -

Seorang penulis iseng yang meluangkan waktu untuk menulis karena susah tidur

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bercermin Pada Sistem Multi Partai di Indonesia

3 Oktober 2012   20:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:17 1260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : id.wikipedia.org

[caption id="" align="aligncenter" width="562" caption="sumber foto : id.wikipedia.org"][/caption]

Semenjak dimulainya orde reformasi, sistem pembatasan peserta pemilu hanya dengan Golkar plus 2 partai politik diakhiri. Orde reformasi mengubahnya menjadi sistem multi partai dengan alasan untuk membuka seluasluasnya bagi keterwakilan seluruh golongan rakyat Indonesia. Jumlah partai pun membengkak menjadi puluhan seperti saat ini.

Hal ini membuat saya teringat akan sejarah. Bahwa sistem multi partai ini juga pernah dipakai di masa orde lama selama 4 tahun, dimulai pada pemilu 1955 dan dibubarkan pada tahun 1959. Sistem multi partai itu dimulai dari pembentukan Konstituante (parlemen) dan DPR dimana DPR berisi 29 fraksi dan Konstituante berisi 35 fraksi. Konstituante dibentuk untuk menyusun UUD baru pengganti UUD 1945 karena UUD 1945 sudah tidak berlaku lagi sejak 27 Desember 1949, yaitu ketika negara kesatuan menjadi negara serikat yang berlandaskan UUD 1949. Namun hasilnya, suhu politik kian panas. Hasil pemilu menonjolkan pemisahan ideologis antara Jawa, yang didominasi Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan luar Jawa (khususnya Sumatra), yang didominasi Masyumi.

Pemilu 1955 yang liberal juga ditandai dengan terlalu banyaknya partai, sehingga tak ada partai yang bisa memperoleh suara mayoritas mutlak. Dalam sistem parlementer yang diamanatkan oleh UUDS, kabinet akhirnya harus dibentuk oleh koalisi beberapa partai. Dan itulah yang membuat pemerintahan menjadi rapuh. Ketika koalisi pecah, runtuh pula kabinet.

Sedangkan Konstituante sendiri pada akhirnya tak pernah dapat memenuhi kuorum untuk menghasilkan keputusan sehingga pada akhirnya mereka dibubarkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Sejarah sudah mencatat bahwa sistem multi partai rentan terhadap perpecahan antar kepentingan dan golongan yang mementingkan kelompok mereka sendiri. Dan kurang lebih mungkin seperti itulah yang kembali terjadi saat ini, walaupun tidak (atau belum) dalam derajat yang separah orde lama. Setiap partai sibuk "berjualan", berpecah atau berkoalisi demi kepentingan mereka sendiri tanpa memperdulikan aspirasi rakyat yang sesungguhnya.

Saya berpikir lagi, bila kita bicara demokrasi, maka secara faktual teladan demokrasi di dunia adalah Amerika Serikat, yang dianggap sebagai pelopor demokrasi di dunia. bahkan di Amerika Serikat pun, di tanah yang dianggap sebagai pelopor demokrasi, hanya ada 2 partai politik, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat. Dan pada faktanya hanya dengan bermodalkan 2 partai tersebut rakyatnya sudah merasa cukup terwakili secara demokratis.

Menurut saya, pada faktanya partai politik itu seharusnya hanya sebagai alat untuk menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat, percuma ada begitu banyak partai tapi faktanya tidak bisa menyalurkan kekuasaan rakyat. Pada akhirnya mereka hanya sibuk menyalurkan aspirasi para politisinya demi kepentingan pribadi dan kelompok mereka masing-masing.

Pada akhirnya saya mulai berpikir. Apakah sedikit partai sebenarnya sudah cukup, asal benar-benar bisa menyalurkan aspirasi rakyat? Sebuah pertanyaan yang tentunya tidak mungkin bisa saya jawab sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun