Belakangan ada fenomena menarik dalam kancah politik tanah air. Khususnya selama masa Pilkada serentak di berbagai wilayah Indonesia. Fenomena penunjukan calon kepala daerah tanpa mempertimbangkan akar budaya dan basis dukungan akar rumput. Saya menyebutnya ekspor pemimpin. Di mana, partai politik sebagai pengusung calon kepala daerah mengambil tokoh dari suatu daerah atau bahkan dari level nasional untuk diusung dalam pilkada di daerah tertentu.
Yang terbaru adalah dalam Pilkada Sumatera Utara, di mana PDIP baru saja mengumumkan pencalonan Djarot Saiful Hidayat, mantan Gubernur DKI Jakarta, sebagai calon Gubernur Sumatera Utara. Djarot, bukanlah sosok kemarin sore dalam urusan memimpin daerah, karena sebelum menahkodai ibukota, pria kelahiran Magelang 55 tahun lalu ini sempat menjadi walikota Blitar selama 2 periode (2000 - 2010). Meski kepemimpinannya sebagai Gubernur Jakarta terbilang singkat, kurang dari satu tahun, sebagai konsekuensi dihukumnya Basuki Tjahaja Purnama atas kasus penistaan agama, namun Djarot terbilang lumayan berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Meskipun, pada akhirnya kepemimpinannya tak berlanjut setelah dikandaskan pasangan Anies Sandi dalam Pilkada DKI tahun kemarin.
Pertanyaan yang menarik untuk kita cermati adalah, patutkah seorang calon kepala daerah dicomot dari daerah lain, tanpa mengindahkan akar budaya dan basis massa bersangkutan di wilayah pemilihan barunya? Bisakah, kita menafikkan logika bahwa seorang pemimpin mustinya datang dari akar tumput dan mempunyai basis akar tumput pada masyarakat yang bakal dipimpinnya?
Dalam kasus Pilkada Sumatera Utara, kemungkinan besar, ada 3 kandidat Gubernur yang bakal bertarung sering. Djarot Saiful, Edy Rahmayadi dan Tengku Erry. Edy Rahmayadi sebagaimana kita tahu berlatarbelakang militer dan saat ini masih menjabat Pangkostrad serta Ketua Umum PSSI. Sementara, Tengku Erry tak lain adalah petahana Gubernur Sumatera Utara, menggantikan Gubernur sebelumnya, Gatot Pujonugroho, yang terjerat kasus korupsi dan saat ini mendekam di tahanan.
 Menimbang ketiga kandidat, dua diantaranya, Edy Rahmayadi dan Tengku Erry mempunyai latar belakang budaya, kedekatan emosional serta dukungan akar rumput di Sumatera Utara. Edy adalah keturunan Melayu Deli dan menghabiskan sebagian besar karir militernya di Kodam Bukit Barisan yang membawahi Sumatera Utara. Sementara Tengku Erry, sebagai petahana, jelas punya hubungan kuat dengan warga Sumatera Utara, meski banyak yang memandang miring atas prestasinya sebagai kepalad daerah yang dinilai kurang apik, lantaran berbagai problem sosial, ekonomi dan keamanan di propinsi terbesar di pulau Sumatera tersebut.
Dengan kondisi macam ini, Djarot otomatis 'hanya' bisa mengandalkan basis massa PDIP sebagai calon pemilihnya, serta berharap simpati pemilih mengambang dari etnis Jawa yang kebetulan hidup dan berKTP Sumatera Utara. Meski, posibilitasnya tidak bisa diandalkan, walaupun Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, secara eksplisit menghimbau pemilih etnis Jawa ini.
"Tolonglah pilih Djarot, kan di sana banyak orang Jawa juga," kata Megawati saat pengumuman calon yang diusung di Pilkada Serentak 2018, Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta, Kamis 4 Januari 2018 lalu sebagaimana dikutip dari Liputan6.com.
Djarot nampaknya butuh meningkatkan leverage politiknya di Sumatera Utara, di luar faktor PDIP dan Jawa-nya jika ingin bisa bersaing dengan kedua kandidat lain. Edy Rahmayadi jelas mengusung sentimen militer dan keamanan dalam program politik yang ditawarkannya kepada publik pemilih. Sedangkan Tengku Erry kurang jelas arah pesan politiknya ke mana, selain hanya jargon-jargon seremonial khas pejabat. Jika Djarot mau, dia bisa mulai menghantam sang petahana, karena secara positioning politik dan citra publik kurang apik. Mengkomparasikan pencapaian Djarot dengan tengku Erry akan langsung terlihat siapa yang lebih unggul sebagai birokrat.
Namun, menghadapi Edy Rahmayadi, Djarot tidak akan bisa semudah itu. Karena Edy dengan latar belakang militer, dukungan massa yang relatif kuat, belum lagi partai Gerindra dan PKS sebagai pengusungnya terbukti punya jaringan mesin politik yang relatif kuat di Sumatera Utara bukan hal yang bisa dianggap enteng. Satu-satunya cara Djarot bisa mengungguli Edy adalah lewat serangan terhadap minimnya pengalaman sang Pangkostrad menjadi pemimpin sipil, plus prestasinya sebagai Ketua Umum PSSI yang bisa dibilang 'biasa saja'.
Tapi sekali lagi, pemilih kita, khususnya di Sumatera Utara, bisa dibilang lebih ke pemilih emosional, bukan logis. Sehingga, komparasi serta serangan atas prestasi dan kapabilitas macam ini belum tentu berhasil, jika Edy Rahmayadi bisa menampilkan dirinya sebagai representasi warga Sumatera Utara sebenarnya. Jika sentimen antara pemimpin 'asli' dan pemimpin 'ekspor' seperti ini bisa digalang, maka mungkin Sumatera Utara bakal dari lubang kegagalan karir politik Djarot Saiful Hidayat.
Bagaimana menurut Anda, silahkah sampaikan komentar atas analisis sederhana ini. Â Â