Adalah menarik menyimak pernyataan Presiden Jokow Widodo dalam Munaslub Golkar di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Senin (18/12/2017) lalu. "Yang saya tahu, ada grup-grup besar di Golkar. Ada grupnya Pak JK (Jusuf Kalla), ada. Ada grup besar dari Pak ARB (Aburizal Bakrie) ada. Pak Luhut (Binsar Pandjaitan) ada. Diem-diem, tapi ada," kata Jokowi dengan nada berkelakar.
Benarkah Jokowi berkelakar saja?
Tentunya tidak. Dan amatlah naif memaknai ungkapan Presiden sebagai senda gurau semata. Apalagi jika Anda mengikuti drama internal partai Golkar yang berpuncak pada acara Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar. Publik dibuat deg-degan dengan rentetan aksi mulai dari penetapan Ketua Umum Golkar Setya Novanto sebagai tersangka kasus megakorupsi e-KTP, pengunduran dirinya dari jabatan puncak partai, hingga penunjukkan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum yang baru. Di tengah polemik sah tidaknya penetapan ini, saling serang dan galang dukungan antar kandidat Ketua Umum hingga puncaknya adalah pengukuhan Airlangga sebagai Ketua Umum definitif.
Sebagai politkus, keberadaan Golkar sangat signifikan bagi Presiden Joko Widodo dan pemerintahan yang dipimpinnya. Karenanya, ketika ada konflik internal Partai berlambang beringin, adalah sebuah keniscayaan untuk Jokowi ikut cawe-cawe baik secara langsung maupun tidak. Pengangkatan Airlangga Hartarto, yang tak lain adalah Menteri Perindustrian tak lepas dari kepentingan pemerintah. Hal ini ditunjukkan salah satunya lewat 'restu' yang diberikan Jokowi saat pertemuannya dengan perwakilan puluhan DPD Golkar di Istana Bogor.Â
Apa motifnya? Tentu saja dalam konstelasi politik tanah air sekarang, di mana pemerintah Jokowi menghadapi banyak serangan dari lawan politiknya, amat penting untuk memastikan Golkar, sebagai salah satu partai terbesar tanah air berada di gerbong pendukung pemerintah. Keberadaan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden, serta Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menteri Koordinator plus ditambah Airlangga Hartarto sebagai menteri dan sekarang Ketua Umum Golkar merupakan jaminan yang dibutuhkan Jokowi.
Karenanya pula, amat mustahil jika Jokowi dan pemerintah bakal memberi dukungan kepada calon Ketua Umum lain, entah itu Azis Syamsuddin, Idrus Marham apalagi Titiek Soeharto. Di saat bersamaan, sosok Airlangga yang masih muda, dengan track record relatif bersih, amatlah cocok mendukung image yang dibangun pemerintah Jokowi sebagai pemerintahan yang bersih dan berorientasi kinerja bukan retorika.
Ke depan, bukan hal mustahil jika kepentingan pemerintah akan semakin menonjol dalam kebijakan-kebijakan Partai Golkar. Sebagaimana juga akan semakin terlihatnya peran serta dan porsi kekuasaan yang dibagi pemerintah bagi Golkar dan kader-kadernya. Salah satunya yang nampaknya segera mewujud adalah penggantian Khofifah Indar Parawangsa sebagai Menteri Sosial dengan Idrus Marham.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H