Membaca adalah proses kompleks yang melibatkan penglihatan, pendengaran, ingatan, dan gerakan mata. Sebagian besar anak belajar membaca pada usia 6-7 tahun. Keterampilan ini terus meningkat dan menjadi lebih efisien seiring dengan bertambahnya usia anak. Bagi beberapa anak, belajar membaca tidaklah sederhana dan bahkan bisa membuat frustasi.Â
Sekitar 7% anak-anak di sekolah biasa mengalami kesulitan belajar membaca, meskipun mereka tidak memiliki penglihatan khusus atau masalah pendengaran dan memiliki kecerdasan normal. Anak-anak ini dilahirkan dengan kesulitan ini bahkan sampai mereka menjadi dewasa.Â
Kesulitan membaca ini adalah ketidakmampuan belajar yang disebut developmental dyslexia. Orang dengan disleksia memiliki perkembangan membaca lebih lambat dan lebih banyak mengalami kesalahan daripada orang tanpa disleksia. Biasanya orang dengan disleksia juga membuat banyak kesalahan pengejaan. Di sisi lain, kemampuan mereka di bidang lain seperti matematika biasanya sangat normal (kecuali jika mereka memiliki kelainan lain).
Disleksia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Disleksia primer terjadi akibat tidak berfungsinya cerebrum (bagian otak yang mengatur aktivitas berpikir dan bergerak) yang terjadi akibat faktor genetik atau keturunan. Sedangkan jenis disleksia berkembang, dialami ketika anak itu masih ada di dalam kandungan. Pengidap disleksia berkembang dapat membaca tetapi tidak lancar dan mengalami kesulitan dalam mengeja kata-kata.Â
Kabar baiknya, kemampuan membaca mereka akan membaik ketika mereka dewasa. Pengidap disleksia berkembang mungkin tidak akan pernah menjadi seorang pembaca atau pengeja yang baik, namun otak mereka dapat melakukannya meski tidak lancar. Baik pengidap disleksia primer maupun berkembang, dapat menangkap gambar maupun suara tetapi dengan kecepatan merespon yang lebih lambat daripada anak normal lainnya.
Dalam sebuah penelitian, sekitar 40 tahun yang lalu, para peneliti menemukan bahwa kesulitan yang dialami oleh penderita disleksia terletak pada kemampuan untuk memproses suara dan bahasa. Orang dengan disleksia memiliki kesulitan secara akurat menyimpan suara yang mereka dengar dalam memori.Â
Para peneliti menemukan penderita disleksia memiliki periode memori bawah sadar dari suara pertama lebih pendek. Ketika jarak suara kurang lebih 10 detik, respons terhadap suara kedua yang diukur pada otak orang tanpa disleksia lebih kecil, memberitahu kita bahwa memori suara pertama masih tersimpan di otak mereka.Â
Sebaliknya, orang dengan disleksia memiliki respons intensitas penuh untuk bunyi kedua jika bunyinya terpisah 10 detik, memberitahu bahwa otak mereka tidak lagi memiliki memori bunyi pertama. Perbedaan durasi memori ini diamati pada beberapa area korteks.
Berikut adalah tanda-tanda anak yang mengalami disleksia :
- Kesulitan mengenali huruf dan mengejanya
- Kesulitan mengerjakan pekerjaan tertulis secara terstruktur, misalnya menulis essay
- Kesalahan dalam memahami huruf, sehingga huruf-huruf yang mirip, sering tertukar
- Misalnya "b" dan "d", "p" dan "q", "m" dan "w", "s" dan "z"
- Tidak membaca dengan tepat, misalnya menghilangkan awalan dan kata penghubung
- Memiliki tulisan tangan buruk
- Kesulitan membedakan kanan dan kiri
Jika dirasa menemukan tanda-tanda yang telah disebutkan di atas, kita perlu menkonsultasikannya kepada psikolog anak, psikolog pendidikan, dokter spesialis mata, dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT), dan dokter spesialis saraf.Â
Dengan adanya konsultasi dengan mereka, kita bisa mengevaluasi untuk menentukan kebutuhan dan perawatan yang tepat sehingga dapat meningkatkan keberhasilan sang anak. Salah satunya melalui terapi edukasi dengan menggunakan pendekatan dan teknik pendidikan secara khusus.