Mohon tunggu...
Tunggul Wiratama
Tunggul Wiratama Mohon Tunggu... Guru - Guru Kriya Tekstil SMKN 1 Susukan

Asesor Batik Nasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jejak Budaya Tanah Perdikan Kademangan Gumelem

4 Januari 2023   21:46 Diperbarui: 4 Januari 2023   21:53 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desa Gumelem atau yang dulu lebih dikenal dengan Kademangan Gumelem, merupakan tanah pemberian hadiah dari Raja Mataram yaitu Raden Sutawijaya. Raja yang mendapat julukan Panembahan Senopati Ing Alogo Sayidin Pranoto Gomo memperlakukan khusus untuk tanah hadiah tersebut dengan membebaskan segala bentuk upeti atau pajak yang kemudian lebih dikenal dengan "Tanah Perdikan". Diperkirakan pada abad ke XV Kademangan Gumelem di pimpin oleh seorang mantan panglima perang kerajaan mataram yaitu Ki Ageng Udhakusuma. Dan pada masa Demang Imam Subandi, Kademangan Gumelem dirubah menjadi Desa Gumelem pada hari Kamis Legi Tanggal 12 November 1959. Hal ini di dasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tanggal 8 September 1954 dan Pedoman Presiden Nomor Sr.s.3/14/57 Tanggal 13 September 1957.

                Melihat kronologi yang ada, tentu kita tidak bisa melepaskan keterkaitan antara Kerajaan Mataram dengan kemampuan masyarakat Gumelem  dibidang seni, budaya, dan kerajinan. Kemampuan di bidang seni budaya dan kerajinan yang dimiliki masyarakat Gumelem diantaranya, Pandai Besi, Pertunjukan Wireng, Shalawatan, Ujungan serta yang paling menonjol adalah kerajinan Batik di Desa Gumelem. Di masa kepemimpinan Demang Ki Ageng Udhakusuma, Batik Tulis sangat populer karena hampir setiap perempuan dewasa diwajibkan harus bisa membatik dan masyarakat juga diwajibkan memakai pakaian batik.

                Dalam perkembangannya, banyak bermunculan kelompok pengrajin batik tulis di Desa Gumelem yang membuka sebuah usaha dibidang produksi batik tulis. Sayang sekali, tidak sedikit dari mereka mulai terbawa arus pasar modern dengan memproduksi batik-batik printing yang tentunya akan merusak citra batik tulis Gumelem itu sendiri, baik dari segi nilai jual batik tulis Gumelem maupun nilai budaya yang ada. Atas dasar itulah, sebagai generasi muda perlu memperjuangkan agar budaya batik tulis di Desa Gumelem bisa kembali pada nilai-nilai sejarah dan budaya yang ada di Desa Gumelem.

dokpri
dokpri

                Selain memperjuangkan nilai kebudayaan, pembatik juga diharapkan peduli terhadap kelestarian lingkungan yang ada di Kabupaten Banjarnegara. Seperti yang kita ketahui bersama, limbah-limbah dari bahan kimia merupakan limbah yang sangat berbahaya bagi lingkungan kita, termasuk di dalamnya pewarna batik dengan bahan kimia. Sebagai alternatif, batik pewarna alam merupakan produk batik yang sangat bersahabat dengan lingkungan serta tidak berbahaya untuk kesehatan kulit yang ada di tubuh kita, karena warna yang dihasilkan diambil dari hasil perebusan kayu-kayuan, daun, akar dan kulit buah-buahan.

                Dari tumbuh-tumbuhan yang ada, kita bisa mengambil warna alami yang tidak kalah jauh dengan pewarna kimia. Tumbuh-tumbuhan tersebut diantaranya, kulit kayu mahoni (menghasilkan warna kecoklatan), kulit kayu tegeran (menghasilkan warna kuning), kayu secang (menghasilkan warna kemerahan), Daun Alpukat (menghasilkan warna hijau), pohon indigovera (menghasilkan warna biru), serta masih banyak tumbuh-tumbuhan lain yang bisa kita gunakan dalam proses batik pewarna alami.

                Berkembangnya kebudayaan di Desa Gumelem diharapkan bisa terus dijaga secara bersama-sama agar peninggalan nenek moyang terus lestari di bumi pertiwi. Masyarakat bisa terus bersinergi dengan pemerintah Kabupaten Banjarnegara dan instansi-instansi terkait untuk terus menjaga kelestarian budaya dan kelestarian lingkungan yang ada di Desa Gumelem pada khususnya serta Kabupaten Banjarnegara pada umumnya. Agar nantinya generasi kita dapat merasakan kehidupan yang sudah menjadi haknya serta bisa terus mengembangkan kebudayaan di tanah kelahiran. TW

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun