"Anu Le, aku tadi taruh di rak sepatu deket pintu masuk. Rak sepatu werno puteh ngono. Sisan karo peciku aku taruh di atasnya," ujar beliau dengan bahasa Jawa halus. Aku pun bergegas melihat tag name yang selalu digantungkan di leher setiap jamaah haji. Aku ingat cerita Muttawif, bahwa pada name tag tidak hanya tertera identitas jamaah, tapi juga nomor penting yang bisa dihubungi saat mendesak. Jelas bagiku, ini bukan sekadar masalah sendal yang hilang, melainkan jamaah yang terpisah dari rombongannya. Hatiku jadi gelisah. Bagaimana caranya menemukan rombongan beliau di antara begitu banyak orang di sini, yang berasal dari seluruh belahan dunia?
Saat senja semakin menghampiri, dan semakin banyak jamaah yang datang untuk shalat Maghrib, aku melihat nomor darurat di nametag beliau. "Baik, nanti mungkin aku bisa menghubungi nomor ini. Sekarang, tenang dulu. Mari kita cari sendal dan peci beliau," batinku sambil berusaha menenangkan diri. Sementara itu, sang Bapak sepuh terlihat tenang dan bahagia. Mungkin merasa aman karena bertemu dengan orang sebangsa? Padahal kutahu bahwa tidak sedikit orang Indonesia di sini. Tapi memang lebih banyak juga dari negeri-negeri lain.
Kami kemudian memasuki pintu utama, Pintu 21-22 bagi jamaah pria. "Monggo pak, mari kita mulai mencari dari sini," ujarku sambil membimbing beliau memperhatikan rak-rak sepatu yang berjajar. Fokusku adalah sandal yang di atas ada peci hitam. Namun, tak satupun peci hitam terlihat di antara rak-rak sepatu yang banyak itu. Kami terus mencari hingga aku mulai merasa khawatir. Jamaah semakin banyak, dan adzan Maghrib tak lama lagi berkumandang.
"Pak, mungkin kita bisa mencari shaff yang belum penuh terlebih dahulu. Nanti setelah shalat kita cari kembali sendal dan pecinya," usulku kepadanya. Beliau mengangguk setuju, dan kami pun berjalan maju mencari shaff kosong yang nyaman untuk melaksanakan shalat Maghrib. Menoleh kiri dan kanan semua sudah ramai. Lalu kulihat sebuah shaff yang lumayan kosong di sisi kiri di depan sana. "Monggo pak, mari kita kesana," kataku sambil menunjuk shaff kosong tersebut, dan kami berdua melangkah permisi menuju ke sana.
Namun, tiba-tiba terdengar sebuah seruan, "Pak Warsudi..!" Aku dan Bapak sepuh menoleh ke arah suara tersebut. Kulihat di sana berjajar sebuah rombongan dengan seragam batik serupa. Mereka adalah rombongan dari Indonesia. Jumlahnya mungkin sekitar 8 sampai 12 orang, kebanyakan sudah berusia sepuh. Tanpa ragu, kami berdua melangkah menuju mereka.
Seorang pemuda dari rombongan itu berdiri dan menyambut kami, "Pak Warsudi, njenengan dari mana? Ini siapa yang bersama njenengan?" tanyanya ramah. Pak Warsudi hanya tersenyum lebar sambil ikut duduk, disambut oleh teman-teman rombongannya. Aku kemudian menjelaskan singkat kepada pemuda itu tentang pertemuan kami dengan Pak Warsudi. Kuakhiri dengan pesan agar nanti selepas maghrib mencari sendal dan peci beliau. Pemuda itu mengangguk faham.
"Wah, matur nuwun pak. Tidak masalah, kami nanti akan mencari bersama-sama sendal dan peci. Jika tidak ketemu, kita akan belikan nanti. Gampang saja itu?" ujar pemuda itu dengan tulus. Aku merasa lega. Maka, aku memutuskan untuk meminta izin dari situ. Aku merasa masih sempat untuk mendapatkan tempat agak di depan, di mana aku bisa melihat kubah hijau kesayanganku.
"Saya permisi dulu kalau begitu. Monggo Pak Warsudi, dan semua Bapak-bapak," ucapku sambil menundukkan kepala takzim. Mereka pun menjawab dengan ucapan 'matur nuwun'. Aku kemudian melangkah ke depan, mencari shaff kosong. Ini lebih mudah karena hanya untukku sendiri. Shaff di mana aku bisa memandang kubah hijau yang begitu megah. Aku tahu, di bawahnya adalah makam baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Adzan Maghrib berkumandang dengan gemanya, membelai telinga yang haus akan keindahan suara azan. Aku menjalani ritual ibadah dengan penuh khidmat. Dan seperti sebelum-sebelumnya, lagi-lagi, airmata tak terbendung membasahi pipi, menetes dengan lirihnya, seakan mengiringi keharuan hati yang tercipta di dalam masjid ini. Sungguh, betapa indahnya shalat di bumi yang dipenuhi berkah ini.
Barulah setelah shalat Maghrib usai, aku tersadar akan keajaiban yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin kami tadi bisa bertemu dengan rombongan beliau? Orang-orang begitu banyak di sini, dan yang berseragam pun tak terhitung jumlahnya. Seragam batik yang dikenakan oleh Pak Warsudi dan rombongannya adalah pemandangan yang biasa di tengah keramaian ini. Lalu bagaimana jika tidak bertemu rombongannya? Bisakah aku mengantar beliau ke hotelnya? Padahal akupun tak tahu kiri kanan di negieri ini.
Airmataku kembali menetes, bukan karena kesedihan, melainkan kekaguman akan kebesaran Allah SWT yang telah mengatur pertemuan ini di tengah keramaian dunia. Terima kasih pak Warsudi, untuk menjadi malaikatku di sore tadi.