Gerakan "7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat" yang dicanangkan oleh Pak Menteri Pendidikan memiliki potensi besar dalam membentuk karakter anak-anak Indonesia. Namun, tantangan utama dari setiap gerakan besar seperti ini adalah memastikan bahwa konsep yang diusung tidak hanya menjadi sekadar formalitas atau program yang dilakukan untuk kepentingan pencitraan semata.Â
Dalam banyak kasus, program yang tampak baik di permukaan sering kali tidak diiringi dengan implementasi yang efektif, sehingga hanya menjadi "lipstik" atau sekadar memenuhi ekspektasi atasan tanpa dampak nyata di lapangan.
Agar gerakan ini tidak menjadi proyek yang hanya bersifat simbolis atau sekadar "asal bapak senang," diperlukan komitmen kuat dari semua pihak yang terlibat, mulai dari pemerintah, sekolah, hingga keluarga. Setiap kebiasaan yang diajarkan harus diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari anak-anak dan tidak hanya berhenti pada sekadar sosialisasi di kelas atau seremoni di acara-acara tertentu.Â
Lebih penting lagi, program ini harus dilaksanakan dengan konsisten dan memiliki mekanisme evaluasi yang jelas untuk mengukur sejauh mana kebiasaan-kebiasaan ini benar-benar diterapkan oleh anak-anak Indonesia.
Salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan gerakan ini adalah sejauh mana para pendidik dan orang tua mampu menjadi teladan dalam menerapkan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Anak-anak tidak bisa hanya diperintahkan untuk bangun pagi, beribadah, atau gemar belajar jika orang dewasa di sekitar mereka tidak memberikan contoh nyata. Jika kebiasaan-kebiasaan tersebut hanya menjadi doktrin yang diajarkan tanpa melihat realitas keseharian, maka sulit bagi anak-anak untuk menginternalisasikannya dalam kehidupan mereka.
Selain itu, penting untuk menciptakan ekosistem yang mendukung keberlangsungan gerakan ini. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal, harus memberikan ruang yang cukup bagi anak-anak untuk mempraktikkan kebiasaan-kebiasaan tersebut secara nyata. Misalnya, kebiasaan hidup sehat dan makan bergizi harus didukung dengan penyediaan makanan sehat di kantin sekolah dan kebijakan yang melarang konsumsi makanan tidak sehat. Begitu pula dengan kebiasaan gemar belajar, yang harus didukung dengan metode pengajaran yang inovatif dan lingkungan belajar yang menyenangkan.
Tak kalah penting, evaluasi yang berkelanjutan perlu dilakukan untuk memastikan program ini berjalan sesuai dengan tujuannya. Evaluasi tidak boleh hanya berfokus pada jumlah sekolah yang menerapkan program atau jumlah anak yang mengikuti kegiatan seremonial, tetapi lebih kepada bagaimana perubahan nyata terjadi dalam pola hidup anak-anak. Metode penilaian yang lebih mendalam, seperti observasi langsung atau studi kasus terhadap beberapa sekolah percontohan, bisa menjadi cara efektif untuk mengukur keberhasilan program ini.
Jika program ini hanya dijalankan untuk memenuhi target administratif tanpa adanya keseriusan dalam implementasinya, maka akan sulit untuk mewujudkan perubahan yang diharapkan. Anak-anak mungkin hanya akan menghafal tujuh kebiasaan tersebut tanpa benar-benar memahaminya dan menjadikannya bagian dari kehidupan mereka. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih praktis dan berorientasi pada dampak nyata harus menjadi prioritas dalam pelaksanaan program ini.
Gerakan "7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat" memiliki potensi besar untuk mencetak generasi yang lebih disiplin, sehat, dan berkarakter. Namun, tanpa strategi implementasi yang matang dan komitmen yang kuat dari semua pihak, program ini bisa saja berakhir hanya sebagai slogan tanpa makna. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk memastikan bahwa program ini benar-benar memberi dampak positif dan bukan sekadar program seremonial yang hanya menyenangkan pihak-pihak tertentu tanpa menghasilkan perubahan yang berarti bagi anak-anak Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI