Mohon tunggu...
Tundung Memolo
Tundung Memolo Mohon Tunggu... Penulis - Tentor dan Penulis Buku, dll

Mendapat kesempatan mengikuti diklat dan lomba hingga ke luar kota dan luar negeri dari kementerian sehingga bisa merasakan puluhan hotel bintang 3 hingga 5. Pernah mendapat penghargaan Kepsek Inspiratif Tingkat Nasional Tahun 2023.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sego 'Kucing", Angkringan, dan Egalitarianisme

29 Januari 2025   23:23 Diperbarui: 29 Januari 2025   22:59 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sego (nasi) kucing dan angkringan bukan sekadar makanan dan tempat makan, melainkan cerminan dari falsafah hidup yang mendalam.

Di balik kesederhanaannya, terdapat makna tentang kebersamaan, kesahajaan, dan ketahanan dalam menjalani hidup. Seperti butiran nasi yang terhimpun dalam satu bungkus kecil, nasi kucing mengajarkan bahwa hidup tidak melulu tentang melimpahnya materi, tetapi tentang cukupnya kebutuhan. Ia bukan simbol kelimpahan, tetapi perwujudan dari pemahaman bahwa kebahagiaan bisa hadir dalam kesederhanaan.

Angkringan, tempat di mana nasi kucing sering dijajakan, bukan hanya sekadar lapak makanan pinggir jalan. Ia adalah ruang di mana batas-batas sosial dan ekonomi menjadi kabur. Di sana, pejabat dan pekerja kasar, mahasiswa dan pengayuh becak, semuanya duduk sejajar menikmati hangatnya wedang jahe atau segelas kopi hitam. Tak ada hirarki, tak ada dinding pemisah, hanya percakapan yang mengalir seperti sungai yang tenang. Angkringan adalah simbol egalitarianisme, tempat di mana status sosial tidak menjadi tembok pemisah, melainkan jembatan yang menghubungkan manusia dalam kesederhanaan dan kebersamaan.

Lengkapnya bahwa Egalitarianisme adalah paham yang menekankan kesetaraan hak dan kesempatan bagi semua individu, tanpa memandang status sosial, ekonomi, ras, atau gender. Dalam masyarakat egaliter, tidak ada hierarki yang membatasi akses seseorang terhadap pendidikan, pekerjaan, atau hak-hak dasar lainnya. Prinsip ini sering dikaitkan dengan keadilan sosial dan demokrasi, di mana setiap orang diperlakukan dengan adil dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.

Lebih dari sekadar makanan, nasi kucing adalah perwujudan dari filosofi cukup. Dalam balutan daun pisang atau kertas minyak, ia menyajikan porsi yang kecil, tetapi cukup untuk mengganjal perut dan memberi energi untuk melanjutkan perjalanan. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tuntutan, ia mengajarkan bahwa kepuasan bukanlah soal banyaknya yang kita miliki, melainkan bagaimana kita menghargai setiap suapan yang ada. Dalam nasi kucing, kita belajar bahwa hidup tidak harus berlebihan. Kesederhanaan bukan kekurangan, melainkan cara untuk memahami esensi kehidupan.

Di sisi lain, angkringan adalah ruang yang merayakan kehangatan dan keterbukaan. Berbeda dengan restoran mewah yang kerap membangun sekat-sekat formalitas, angkringan justru mengajak orang untuk berbagi—bukan hanya makanan, tetapi juga cerita, canda, dan bahkan keluh kesah. Lilin yang menyala di atas gerobak kayu bukan sekadar penerang, tetapi simbol kehangatan yang menyatukan. Di tempat ini, obrolan mengalir dari politik hingga urusan hati, dari candaan ringan hingga perbincangan mendalam tentang kehidupan. Angkringan tidak hanya menyajikan makanan murah meriah, tetapi juga ruang bagi mereka yang ingin sejenak beristirahat dari beratnya kehidupan.

Filosofi nasi kucing dan angkringan adalah filosofi tentang keseimbangan. Ia mengajarkan kita untuk memahami batas antara cukup dan berlebih, antara kebutuhan dan keinginan. Ia adalah pengingat bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu hadir dalam kemewahan, tetapi justru dalam kesederhanaan yang tulus. Di tengah dunia yang terus bergerak, angkringan mengajarkan kita untuk melambat, untuk menikmati momen, dan untuk menghargai setiap kebersamaan yang ada.

Tak heran jika angkringan dan nasi kucing tetap bertahan di tengah gempuran modernitas. Ia bukan hanya kuliner, tetapi juga perlawanan diam terhadap hegemoni budaya konsumtif. Ia adalah simbol dari keberlanjutan tradisi yang tetap relevan di tengah perubahan zaman. Setiap bungkus nasi kucing yang terjual bukan sekadar transaksi ekonomi, tetapi juga pelestarian nilai-nilai kebersamaan dan kesederhanaan. Dan setiap malam, ketika gerobak angkringan mulai dibuka, kita kembali diingatkan bahwa di tengah dunia yang penuh ambisi dan kesibukan, ada tempat di mana kita bisa kembali ke akar, menikmati hangatnya kebersamaan dalam kesederhanaan yang penuh makna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun