Di sudut-sudut pedesaan Indonesia, kemiskinan ekstrem bukan sekadar angka statistik, tetapi realitas yang membelenggu kehidupan masyarakat.
 Gambaran desa miskin ekstrem sering kali begitu kontras dengan wajah modernisasi perkotaan---rumah-rumah beratapkan seng bocor, lantai tanah yang dingin saat hujan, dan anak-anak yang berlarian tanpa alas kaki.Â
Kemiskinan di level ini lebih dari sekadar kurangnya pendapatan. Ini adalah ketidakberdayaan sistemik yang menjadikan kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan layanan kesehatan sebagai barang mewah yang sulit dijangkau.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan ekstrem didefinisikan sebagai kondisi ketika seseorang hidup dengan kurang dari Rp11.941 per hari.Â
Namun, lebih dari sekadar angka, kemiskinan ekstrem memiliki wajah yang lebih kompleks: rumah-rumah sempit yang tak layak huni, akses air bersih yang terbatas, serta ketidakmampuan mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan yang layak.Â
Di desa-desa miskin ekstrem, kepala keluarga sering kali bekerja sebagai buruh tani atau nelayan tanpa kepastian penghasilan. Sementara itu, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terjebak dalam pusaran ketidakberdayaan.
Dalam lingkaran kemiskinan yang tak berkesudahan ini, pernikahan dini menjadi fenomena yang terus berulang. Anak perempuan yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah terpaksa menikah dalam usia belia, bukan karena keinginan mereka, tetapi karena kondisi yang memaksa.Â
Di banyak keluarga miskin ekstrem, menikahkan anak perempuan sering kali dianggap sebagai jalan keluar dari kesulitan ekonomi. Satu mulut lebih sedikit untuk diberi makan, satu tanggung jawab yang bisa dialihkan kepada suami si anak perempuan.
Pernikahan dini di desa-desa miskin ekstrem bukan sekadar masalah adat atau budaya, tetapi juga hasil dari keterbatasan pendidikan dan akses informasi. Anak-anak perempuan yang menikah muda cenderung putus sekolah, kehilangan kesempatan mengembangkan potensi, dan pada akhirnya kembali ke siklus kemiskinan yang sama.Â
Pernikahan pada usia belia juga membawa risiko besar bagi kesehatan perempuan, mulai dari kehamilan berisiko tinggi hingga tingginya angka kematian ibu dan bayi.
Ironisnya, dalam situasi ini, kemiskinan ekstrem dan pernikahan dini saling memperkuat satu sama lain. Perempuan yang menikah di usia muda cenderung memiliki lebih banyak anak dalam kondisi ekonomi yang belum stabil.Â