Perjalanan mudik liburan awal tahun ini membuka mata saya pada realitas yang sering kita abaikan: sampah yang berserakan di sepanjang jalan, membentuk pemandangan yang mengganggu harmoni alam dan keindahan desa.Â
Tumpukan plastik dan limbah rumah tangga tidak hanya mencemari pandangan, tetapi juga memberikan gambaran suram tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat, menangani masalah yang terus membesar ini.Â
Di beberapa tempat, bahkan sawah yang seharusnya menjadi simbol kesuburan dan kehidupan, berubah menjadi tempat pembuangan sampah tak resmi. Situasi ini membuat kita merenungkan, ke mana sebenarnya arah pengelolaan sampah di negeri ini?
Sampah adalah hasil tak terelakkan dari aktivitas manusia. Bayangkan saja, satu rumah menghasilkan satu kantong plastik sampah per hari. Dalam sebulan, jumlah itu berlipat menjadi 30 kantong. Jika satu RT terdiri dari 50 rumah, maka dalam sebulan, jumlahnya mencapai 1.500 kantong sampah.Â
Bagaimana jika kita menghitung dalam skala desa, kecamatan, hingga kota? Volume yang dihasilkan akan mencengangkan. Persoalannya adalah, ke mana semua sampah itu pergi? Sistem pengelolaan yang ada sering kali tidak memadai untuk menangani jumlah yang begitu besar, sehingga sampah akhirnya menumpuk, dibuang sembarangan, atau lebih buruk lagi, dibakar, yang pada gilirannya menciptakan masalah baru berupa polusi udara dan ancaman kesehatan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kita membutuhkan pendekatan baru yang lebih terarah dan terintegrasi dalam pengelolaan sampah.Â
Salah satu gagasan yang patut dipertimbangkan adalah membentuk generasi baru sarjana terapan di bidang pengelolaan sampah. Mereka akan menjadi ahli yang tidak hanya memahami teknik pengolahan limbah secara ilmiah, tetapi juga mampu merancang sistem yang sesuai dengan karakteristik lokal. Sarjana-sarjana ini dapat mengembangkan teknologi ramah lingkungan untuk mengolah sampah organik menjadi kompos atau biogas, serta mendesain sistem daur ulang plastik yang efisien.
Namun, solusi ini tidak hanya bergantung pada teknologi atau inovasi ilmiah. Perubahan harus dimulai dari kesadaran masyarakat. Edukasi tentang pentingnya memilah sampah dari sumbernya perlu menjadi bagian integral dari strategi pengelolaan.Â
Warga harus didorong untuk memisahkan sampah organik, anorganik, dan berbahaya. Selain itu, pemerintah perlu menyediakan infrastruktur pendukung, seperti tempat pembuangan sampah sementara yang terorganisasi dengan baik, fasilitas daur ulang, serta pengangkutan sampah yang terjadwal dan efisien.
Di sisi lain, pengelolaan sampah juga harus menjadi bagian dari kebijakan yang lebih besar terkait keberlanjutan lingkungan.Â
Pemerintah daerah perlu mengadopsi pendekatan berbasis ekonomi sirkular, di mana sampah dipandang bukan sebagai limbah, melainkan sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan kembali. Misalnya, plastik bekas dapat diolah menjadi bahan bangunan, sementara sampah organik dapat diubah menjadi energi melalui teknologi biodigester.Â