Mohon tunggu...
Tundung Memolo
Tundung Memolo Mohon Tunggu... Penulis - Tentor dan Penulis Buku, dll

Mendapat kesempatan mengikuti diklat dan lomba hingga ke luar kota dan luar negeri dari kementerian sehingga bisa merasakan puluhan hotel bintang 3 hingga 5. Pernah mendapat penghargaan Kepsek Inspiratif Tingkat Nasional Tahun 2023.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Superhero Tanpa Jubah dan Tim Pendamai Dunia

27 Januari 2025   14:14 Diperbarui: 27 Januari 2025   12:41 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebagai kepala sekolah, saya sering merasa seperti sedang memimpin kerajaan kecil. Bedanya, di kerajaan saya ini, warganya adalah anak-anak yang masih belajar jadi manusia, dan salah satu tantangan terbesar adalah memastikan mereka nggak saling sikut seperti tokoh antagonis di sinetron. Di sinilah saya sadar, saya bukan cuma kepsek, tapi juga semacam superhero tanpa jubah—misi saya? Mengatasi perundungan tanpa drama dan tanpa bikin murid-murid merasa hidup mereka berubah jadi episode "Pengadilan Anak".

Mari kita bicara soal pendekatan disiplin positif. Apa itu? Intinya, ini adalah cara mengajarkan anak-anak tentang tanggung jawab dan empati tanpa mengancam atau menghukum. Kedengarannya idealis, ya? Tapi tenang, saya sudah uji coba, dan hasilnya cukup bikin saya optimis bahwa dunia ini masih bisa jadi tempat yang lebih baik (setidaknya di lingkungan sekolah).

Pertama-tama, saya selalu mulai dengan mengenali bahwa bullying bukan soal anak nakal versus anak baik-baik. Tidak. Anak-anak yang membully seringkali adalah anak-anak yang bingung bagaimana mengekspresikan emosi atau mencari perhatian. Jadi, tugas saya bukan menghukum mereka, tapi membantu mereka menemukan cara lain untuk menonjol tanpa perlu menjatuhkan orang lain.

Misalnya, saya pernah menemukan seorang anak yang suka sekali melontarkan ejekan ke teman-temannya. Bukannya saya panggil ke ruang kepala sekolah dengan muka galak, saya justru ajak dia ngobrol sambil ngemil kerupuk (karena saya yakin perut kenyang adalah kunci pembicaraan damai). Saya tanya, “Kamu tahu nggak, kenapa sih suka ngatain temanmu?” Dengan jujur dia bilang, “Soalnya seru aja, Pak, biar teman-teman ketawa.” Nah, di sinilah titik cerahnya: dia sebenarnya cuma ingin perhatian! Jadi, saya ajak dia ikut ekskul drama, biar dia bisa jadi pusat perhatian secara legal dan terarah. Sekarang? Dia jadi bintang teater sekolah. Tepuk tangan dulu buat saya!

Kemudian, saya juga punya filosofi: bullying itu harus diberantas dengan tim, bukan satu orang. Jadi, saya bentuk “pasukan damai” dari murid-murid lain. Mereka ini saya rekrut secara sukarela untuk jadi agen anti-bullying, tugasnya bukan mengintimidasi pelaku, tapi menciptakan suasana di mana nggak ada yang merasa sendirian. Kalau ada yang mulai kelihatan dikucilkan, pasukan damai ini langsung bikin aksi: mengajak ngobrol, main bareng, atau sekadar duduk bareng pas jam istirahat. Efeknya? Semua merasa diterima, pelaku nggak sempat lagi nyari mangsa, karena suasana sudah terlalu penuh kehangatan.

Oh, dan saya percaya humor adalah senjata terbaik melawan konflik. Jadi, saya sering menggunakan pendekatan “lempar candaan dulu, serius belakangan.” Kalau saya lihat ada yang mulai berisik dengan nada-nada provokatif, saya datang sambil pura-pura jadi reporter TV, “Halo, ini Pak Kepsek melaporkan langsung dari TKP, apa yang sedang terjadi di sini? Ada komentar dari pelaku atau korban?” Biasanya mereka langsung ketawa, suasana mencair, dan dari situ saya bisa ngobrol serius tanpa bikin mereka merasa diserang.

Satu lagi trik favorit saya: saya ajak semua murid, termasuk pelaku dan korban, untuk bikin aturan bareng. Iya, bareng-bareng! Jadi, mereka yang menentukan, “Apa yang nggak boleh dilakukan di sekolah ini?” dan “Apa konsekuensi yang adil kalau ada yang melanggar?” Ketika mereka terlibat dalam proses, mereka jadi lebih merasa bertanggung jawab untuk menjalankan aturan tersebut. Dan yang paling ajaib, ketika pelaku bullying tahu bahwa teman-temannya sendiri yang bikin aturan itu, dia jadi mikir dua kali untuk melanggar.

Tapi bagian terbaik dari semua ini adalah melihat perubahan kecil yang pelan-pelan jadi besar. Anak yang tadinya suka menjahili temannya tiba-tiba jadi ketua kelompok diskusi. Anak yang dulu selalu menyendiri sekarang punya geng belajar bareng. Dan saya? Saya bisa tidur nyenyak malam-malam karena tahu bahwa saya bukan cuma kepala sekolah, tapi juga semacam “pendamai dunia” versi lokal.

Jadi, untuk siapa pun yang bertanya, “Bagaimana caranya mengatasi perundungan di sekolah tanpa ancaman dan hukuman?” Jawaban saya sederhana: gunakan pendekatan disiplin positif, sedikit humor, dan segunung kesabaran. Karena pada akhirnya, tugas kita adalah membentuk generasi yang bukan cuma pintar matematika, tapi juga pintar memahami bahwa dunia ini lebih indah kalau kita saling menghargai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun