Sharenting itu sebenarnya ibarat dua sisi koin: di satu sisi, bisa jadi cara orang tua zaman now pamer kebahagiaan, tapi di sisi lain, bisa juga jadi bumerang yang bikin kepala pening di masa depan.Â
Bayangin aja, anak kita suatu hari jadi remaja yang tiba-tiba sadar kalau ada foto dia mandi di ember waktu bayi yang viral di grup keluarga besar. Kalau anaknya introvert, tamat sudah reputasinya di dunia maya!
Orang tua sering kali lupa kalau media sosial itu lebih kejam dari tetangga yang hobi nyinyir. Apa yang kita unggah hari ini, bisa jadi bahan gosip virtual bertahun-tahun ke depan. "Lho, itu kan foto anak Bu Ani pas pipinya belepotan cokelat? Aduh, lucu banget!" Lucu di kita, tapi mungkin memalukan bagi anak. Kita kan nggak mau nanti anak kita duduk di meja makan sambil melotot sambil bilang, "Ma, kenapa sih semua orang tahu aku ngompol di pesta ulang tahun?"
Belum lagi soal keamanan. Ada loh, orang-orang aneh di luar sana yang nggak sebaik hati kita. Mereka bisa pakai foto anak kita untuk hal-hal yang bahkan nggak kepikiran di otak kita.Â
Jadi, kalau mau unggah foto anak, pastikan yang aman. Jangan kasih informasi detail seperti nama lengkap, nama sekolah, apalagi jadwal les. Itu bukan bikin feeds Instagram cantik, tapi malah kasih undangan terbuka buat orang-orang iseng. Ingat, dunia ini bukan cuma tempat unicorn dan pelangi.
Terus, ada lagi nih, soal "pamer halus" alias humblebrag. Misal, ibu-ibu nge-post foto anak lagi pegang piala sambil bilang, "Alhamdulillah, meski anak saya baru belajar satu minggu, langsung juara satu lomba catur tingkat provinsi!" Yah, sebenarnya siapa yang dipuji? Anaknya atau ego orang tuanya? Kadang, postingan seperti ini lebih bikin kita terlihat haus perhatian dibanding sekadar ingin berbagi kebahagiaan.
Intinya, sharenting itu boleh-boleh aja, asal jangan lupa filter! Bukan filter Instagram, tapi filter logika. Tanyakan dulu ke diri sendiri: "Kalau saya di posisi anak saya, saya bakal bangga atau malu dengan ini?" Kalau jawabannya malu, ya sudahlah, simpan di galeri HP aja. Lagian, siapa tahu suatu hari nanti, foto-foto itu lebih seru jadi bahan nostalgia keluarga di ruang tamu ketimbang jadi bahan ketawa netizen. Jadi, yuk, sharenting dengan bijak! Anak bahagia, kita juga tenang.
Selain soal privasi dan keamanan, ada satu lagi fenomena menarik soal sharenting: sering kali yang diunggah itu sisi "sempurna" anak kita. Misalnya, foto anak yang lagi khusyuk belajar, video anak menyapu halaman, atau momen dia lagi nyuapin kucing dengan senyum malaikat.Â
Padahal, kalau netizen tahu apa yang terjadi sebelum foto itu diambil, mungkin mereka bakal kaget. Bisa jadi lima menit sebelumnya, anak itu nangis gara-gara disuruh mandi atau ngamuk gegara mainannya direbut adik.
Sharenting yang terlalu "ideal" ini kadang jadi ajang kompetisi nggak sehat antar orang tua. Seolah-olah feed media sosial kita adalah lomba siapa yang punya anak paling berbakat, paling pintar, atau paling lucu. Padahal, semua orang tua tahu, di balik layar, semua anak itu sama saja: ada rewelnya, ada tantrumnya, ada dramanya.Â
Tapi yang dipamerin cuma yang manis-manis aja. Hasilnya? Orang tua lain jadi insecure, "Aduh, kok anak saya nggak sesempurna itu, ya?" Padahal, bisa jadi anak mereka lebih jago ngedekin ayam tetangga atau ngerayu biar nggak sekolah.