Sistem pendidikan di Indonesia kerap menjadi perbincangan, terutama dalam kaitannya dengan Ujian Nasional (UN) dan kebijakan zonasi. Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah: untuk apa masih ada UN jika sistem zonasi tetap berlaku? Dan sebaliknya, apakah ketiadaan UN dapat menjamin siswa tetap memiliki semangat belajar? Masalah ini perlu dilihat secara menyeluruh, karena pendidikan seharusnya tidak hanya bergantung pada satu kebijakan saja.
UN sering dianggap sebagai pendorong eksternal bagi siswa untuk belajar. Ketika UN masih menjadi penentu kelulusan, siswa memiliki alasan yang jelas untuk berusaha keras. Namun, ketika UN dihapuskan atau tidak lagi digunakan sebagai indikator utama, banyak siswa kehilangan dorongan untuk belajar. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini motivasi belajar siswa lebih banyak berasal dari tekanan eksternal seperti ujian, bukan dari kesadaran internal bahwa belajar adalah kebutuhan. Padahal, belajar seharusnya menjadi sebuah proses yang didorong oleh keinginan untuk berkembang, bukan semata-mata karena takut gagal atau ingin mendapatkan nilai tinggi.
Di sisi lain, kebijakan zonasi diperkenalkan untuk mengurangi ketimpangan pendidikan, dengan memberikan kesempatan yang lebih merata bagi siswa untuk masuk ke sekolah terdekat tanpa harus bersaing berdasarkan nilai UN. Namun, kebijakan ini memiliki efek samping: siswa merasa tidak perlu bersusah payah belajar, karena penerimaan di sekolah tidak lagi ditentukan oleh nilai akademik. Akibatnya, banyak siswa yang kurang termotivasi untuk belajar serius, karena merasa hasilnya tidak akan berdampak signifikan pada masa depan mereka, terutama dalam konteks seleksi sekolah.
Dilema ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana menciptakan sistem pendidikan yang mampu memotivasi siswa untuk belajar tanpa bergantung pada tekanan eksternal seperti UN? Salah satu solusinya mungkin adalah mereformulasi kebijakan zonasi dengan memasukkan elemen evaluasi akademik, misalnya menggunakan hasil ujian seperti UN. Dengan demikian, meskipun zonasi tetap berlaku, siswa tetap memiliki dorongan untuk belajar karena nilai akademik juga diperhitungkan dalam seleksi. Kebijakan ini dapat menjadi jalan tengah yang menggabungkan pemerataan akses pendidikan dengan peningkatan motivasi belajar siswa.
Namun, solusi ini tidak cukup jika hanya bersifat struktural. Yang lebih penting adalah bagaimana sistem pendidikan membangun motivasi internal dalam diri siswa. Guru, orang tua, dan lingkungan pendidikan harus menanamkan pemahaman bahwa belajar adalah investasi untuk masa depan, bukan sekadar kewajiban. Pembelajaran harus dirancang lebih menarik, relevan, dan bermakna, sehingga siswa merasa bahwa apa yang mereka pelajari benar-benar bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Akhirnya, pertanyaan besar tetap ada: mampukah sistem pendidikan menciptakan generasi siswa yang belajar tanpa harus bergantung pada motivasi eksternal seperti UN? Jawabannya adalah mungkin, tetapi membutuhkan reformasi menyeluruh, baik dalam kebijakan maupun pendekatan pendidikan. Sistem pendidikan harus mampu menyeimbangkan antara memberi dorongan eksternal yang konstruktif dan membangun motivasi internal yang kokoh. Dengan demikian, siswa dapat belajar dengan tujuan yang lebih mulia: untuk menjadi individu yang lebih baik, bukan hanya untuk memenuhi tuntutan sistem.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI