Mohon tunggu...
Tundung Memolo
Tundung Memolo Mohon Tunggu... Penulis - Kepala Sekolah, CEO Litbang Indomatika, Tentor/Pembimbing Olimpiade Matematika, penulis, dll

Mendapat kesempatan mengikuti diklat dan lomba hingga ke luar kota dan luar negeri dari kementerian sehingga bisa merasakan puluhan hotel bintang 3 hingga 5. Pernah mendapat penghargaan Kepsek Inspiratif Tingkat Nasional Tahun 2023.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Tinjauan Refleksi Kritis Tentang Sharenting

25 Januari 2025   19:19 Diperbarui: 25 Januari 2025   18:20 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Praktik "sharenting" tidak hanya sekadar berbagi cerita atau gambar tentang anak di media sosial; ia mencerminkan pergeseran besar dalam cara identitas dipahami dan ditampilkan di era digital. Untuk para orang tua, ketegangan antara "diri individual" yang sering kali dikaitkan dengan identitas pra-orang tua, dan "diri relasional" yang terhubung dengan peran sebagai orang tua dan anggota komunitas, bukanlah hal baru. Namun, di era digital, ketegangan ini menjadi lebih terlihat, lebih dinilai, dan sering kali lebih rumit karena berimpitan langsung dengan hak-hak anak.

1. Ketegangan Antara Identitas Individual dan Relasional

Sebelum era digital, cara orang tua merepresentasikan diri mereka lebih bersifat terbatas dalam interaksi tatap muka dan ekspresi sosial yang tidak terdokumentasi secara permanen. Namun, di era digital, setiap keputusan berbagi -- baik gambar, cerita, atau opini -- menjadi tindakan representasi diri yang bersifat refleksif dan dapat diakses oleh audiens yang jauh lebih luas. Ketika identitas digital orang tua terikat pada narasi tentang anak-anak mereka, muncul dilema mendalam: apakah hak individu sebagai orang tua untuk berbagi cerita melampaui hak anak untuk melindungi privasi mereka?

2. Digitalisasi Identitas dan Peran Platform

Platform digital seperti Facebook, Instagram, dan YouTube sering kali mendukung representasi diri yang berfokus pada identitas individual. Dengan kebijakan seperti membatasi satu akun untuk satu nama atau melarang anak-anak di bawah 13 tahun bergabung secara langsung, platform-platform ini memperkuat gagasan bahwa identitas digital adalah milik pribadi yang otonom. Namun, realitas orang tua di dunia digital sering kali bersifat "relasional" -- identitas mereka sebagai orang tua terbentuk melalui interaksi dengan anak, keluarga, dan komunitas mereka. Ironisnya, aturan platform yang mengutamakan individualisme ini justru mengabaikan kompleksitas identitas relasional yang menjadi inti dari kehidupan keluarga.

3. Sharenting sebagai Praktik Representasi dan Tantangan Etika

Ketika representasi diri orang tua mencakup aspek kehidupan anak-anak mereka, muncul dilema etika yang tajam. Orang tua berada dalam posisi unik sebagai pihak yang memiliki otoritas penuh atas apa yang dibagikan, sekaligus menjadi pelindung utama privasi anak. Representasi diri digital yang dulunya dianggap sepele -- melalui pilihan pakaian, bahasa tubuh, atau gaya berbicara -- kini berubah menjadi keputusan besar yang terekam secara permanen, terbuka untuk pengawasan, dan berdampak pada hak-hak anak di masa depan.

4. Paradoks Identitas Relasional di Era Jaringan

Ketika jaringan menjadi logika budaya dominan, identitas relasional mendapatkan makna baru. Dalam konteks ini, sharenting menjadi salah satu cara bagi orang tua untuk memperkuat koneksi dengan komunitas virtual mereka. Namun, praktik ini juga memperlihatkan kontradiksi yang mendalam: orang tua berbagi untuk merayakan dan memperkaya hubungan mereka dengan anak, tetapi justru dengan cara yang berisiko merusak privasi anak. Paradoks ini mencerminkan ketegangan antara konsep identitas relasional yang menekankan keterhubungan dan tanggung jawab sosial, dengan konsep identitas individual yang berfokus pada otonomi dan hak pribadi.

5. Menuju Kesadaran Kolektif

Sharenting adalah produk dari era digital yang terus berkembang, dan praktik ini membutuhkan kesadaran kolektif yang lebih besar tentang dampaknya. Sebagai masyarakat, kita perlu mempertimbangkan bagaimana norma-norma etika, privasi, dan tanggung jawab dapat menyeimbangkan hak-hak individu dan kepentingan kolektif dalam dunia yang semakin terhubung. Orang tua, platform digital, dan pembuat kebijakan memiliki peran penting dalam memastikan bahwa representasi diri di dunia maya tidak mengorbankan hak-hak anak sebagai individu yang memiliki masa depan untuk mereka tentukan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun