Fenomena "sharenting," di mana orang tua berbagi cerita atau gambar tentang anak-anak mereka di media sosial, mencerminkan pergeseran besar dalam cara identitas digital didefinisikan di era modern. Praktik ini, meskipun sering kali bertujuan untuk merayakan momen kebahagiaan keluarga atau berbagi pengalaman sebagai orang tua, memunculkan sejumlah pertanyaan etis yang mendalam dan berlapis.
1. Antara Privasi Anak dan Hak Orang Tua
Pertanyaan mendasar yang muncul dari sharenting adalah, "Di mana batas antara cerita orang tua dan cerita anak?" Sejak gambar pertama hasil USG dibagikan, narasi tentang anak sering kali menjadi bagian dari cerita orang tua. Namun, seiring anak-anak tumbuh, apakah mereka memiliki hak untuk menentukan batasan atas informasi yang telah dibagikan tentang mereka? Fakta bahwa hukum di beberapa negara, seperti Prancis, mengizinkan anak-anak untuk menggugat orang tua mereka karena melanggar privasi menunjukkan bahwa praktik ini memiliki implikasi serius.
2. Dilema Etis Orang Tua
Banyak orang tua merasa berada di persimpangan antara kebutuhan mereka untuk mengekspresikan diri sebagai orang tua dan kewajiban mereka untuk melindungi privasi anak. Beberapa orang tua menggunakan media sosial sebagai sarana untuk berbagi pengalaman, mencari dukungan, atau bahkan membangun komunitas. Namun, keterbukaan ini membawa risiko seperti eksploitasi, pencurian data, hingga paparan anak terhadap bahaya di dunia maya. Tindakan ini menempatkan orang tua dalam posisi paradoks: mereka ingin berbagi cerita tetapi juga harus menjadi pelindung utama anak-anak mereka.
3. Representasi Digital yang Persisten
Dalam dunia digital, apa yang dibagikan secara online memiliki potensi untuk bertahan selamanya. Ini menambah dimensi baru pada diskusi tentang privasi, karena foto atau cerita yang mungkin terlihat lucu atau tidak berbahaya saat ini, dapat memiliki konsekuensi yang berbeda di masa depan ketika anak-anak dewasa. Mereka mungkin merasa bahwa narasi yang dibangun orang tua tentang mereka tidak mencerminkan identitas mereka sendiri.
4. Sharenting sebagai Bentuk Ekspresi
Namun, tidak dapat disangkal bahwa sharenting juga bisa menjadi alat yang memberdayakan. Beberapa orang tua menggunakan platform digital untuk meruntuhkan stereotip tentang pola asuh atau untuk memberikan perspektif baru tentang parenting. Dalam kasus ini, sharenting dapat menjadi tindakan subversif yang memperluas narasi dominan tentang peran orang tua, terutama ibu.
Sharenting adalah praktik yang kompleks, melibatkan dinamika antara identitas orang tua dan hak anak, serta antara kebutuhan pribadi dan tanggung jawab sosial. Orang tua perlu mempertimbangkan implikasi etis setiap tindakan berbagi, tidak hanya untuk melindungi anak mereka di masa sekarang tetapi juga untuk menghormati masa depan anak sebagai individu yang memiliki kendali atas identitas mereka sendiri. Dengan membangun kesadaran tentang dampak jangka panjang dari sharenting, kita dapat berharap tercipta keseimbangan antara hak untuk berbagi dan tanggung jawab untuk menjaga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI