Di sebuah warung kopi di sudut kota, Si Yolo dan Si Yono duduk berseberangan, masing-masing dengan secangkir kopi hitam. Di meja kecil di antara mereka, ada sepiring pisang goreng yang mulai dingin. Malam itu, mereka terlibat dalam diskusi yang hangat—tema favorit mereka: 100 hari pemerintahan di Negeri Entah Berantah.
“Jadi, Yon,” kata Yolo, sambil mengaduk kopi yang sebenarnya tak perlu diaduk, “100 hari sudah lewat. Aku nggak lihat apa-apa yang benar-benar berubah. Cuma janji-janji kosong.”
Yono menyesap kopinya pelan, lalu tersenyum kecil. “Kamu ini selalu terlalu cepat menilai, Lo. Bukankah 100 hari itu baru awal? Pemerintahan itu bukan sprint, tapi maraton.”
Yolo mendengus. “Awal itu penting, Yon! Kalau di awal saja sudah nggak jelas arahnya, bagaimana mau berharap ke depannya? Lihat saja, mana janji reformasi birokrasi yang katanya bakal tuntas dalam 100 hari? Mana solusi konkret untuk harga pangan? Aku nggak melihat ada gebrakan besar.”
Yono mengangkat bahu, mengambil pisang goreng terakhir di piring, lalu menggigit ujungnya. “Lo, 100 hari itu masa adaptasi. Kalau kamu mau revolusi instan, itu bukan realistis, namanya utopis. Aku malah lebih senang mereka mengambil langkah kecil yang realistis daripada janji besar yang nggak ada ujungnya.”
“Tapi lihat kenyataannya,” potong Yolo. “Kebijakan subsidi yang diumumkan minggu lalu? Itu setengah matang! Belum lagi kabinetnya yang masih berantakan. Aku nggak tahu apa mereka benar-benar serius atau cuma ingin membuat pencitraan.”
Yono menaruh cangkir kopinya dengan hati-hati. “Kamu ini seperti juri lomba masak yang ingin makanan matang dalam lima menit, Lo. Coba lihat dari sisi lain. Mereka sudah memperbaiki sistem logistik pangan, meski hasilnya mungkin baru terasa enam bulan lagi. Mereka juga mulai mengurangi anggaran yang nggak penting. Bukankah itu langkah yang baik?”
Yolo mengerutkan dahi. “Tapi masyarakat itu butuh hasil, Yon, bukan rencana. Kalau 100 hari ini nggak ada perubahan nyata, ya wajar kalau orang kecewa.”
“Benar, masyarakat butuh hasil,” jawab Yono, matanya serius menatap Yolo. “Tapi hasil itu nggak datang semudah membalikkan telapak tangan. Kita juga harus realistis. Kalau dalam 100 hari ini mereka sudah menyiapkan fondasi yang kuat, aku optimis ke depannya mereka bisa lebih baik.”
Yolo menghela napas panjang, mengambil permen karet dari sakunya.. Ia hanya mengunyah ringan permen karet tersebut. “Kamu terlalu lembek, Yon. Kalau kita nggak kritik dari awal, mereka akan berpikir semuanya baik-baik saja.”
Yono tertawa kecil. “Dan kamu terlalu keras, Lo. Kalau semua dikritik habis-habisan tanpa memberi ruang, kapan mereka bisa bekerja? Kritik itu penting, tapi apresiasi juga perlu. Mungkin kita butuh keseimbangan.”