Mohon tunggu...
Tundung Memolo
Tundung Memolo Mohon Tunggu... Penulis - Kepala Sekolah, CEO Litbang Indomatika, Tentor/Pembimbing Olimpiade Matematika, penulis, dll

Mendapat kesempatan mengikuti diklat dan lomba hingga ke luar kota dan luar negeri dari kementerian sehingga bisa merasakan puluhan hotel bintang 3 hingga 5. Pernah mendapat penghargaan Kepsek Inspiratif Tingkat Nasional Tahun 2023.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Rumah Pendidikan Versi Lain Platform Merdeka Mengajar (PMM)?

22 Januari 2025   21:57 Diperbarui: 22 Januari 2025   21:01 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika Kementerian Pendidikan meluncurkan Rumah Pendidikan sebagai platform digital terbaru, banyak pihak menyambutnya dengan antusias. Platform ini digadang-gadang menjadi solusi holistik untuk mengintegrasikan guru, siswa, dan orang tua dalam sebuah ekosistem pendidikan digital yang inklusif. Namun, di balik janji manis tersebut, muncul sejumlah pertanyaan kritis: apakah Rumah Pendidikan benar-benar akan membawa perubahan positif, atau justru menambah kompleksitas bagi dunia pendidikan, terutama bagi para guru yang baru saja familiar dengan Platform Merdeka Mengajar (PMM)?

Salah satu sisi lain dari Rumah Pendidikan yang perlu dicermati adalah potensi tumpang tindihnya dengan PMM. Platform Merdeka Mengajar yang diluncurkan beberapa tahun sebelumnya sudah menjadi alat penting bagi guru, menyediakan perangkat ajar, modul pelatihan, dan video inspiratif. Banyak guru telah melewati fase adaptasi yang tidak mudah, dari kebingungan hingga akhirnya merasa nyaman menggunakan PMM. Kini, dengan hadirnya Rumah Pendidikan, ada kekhawatiran bahwa fokus guru akan kembali terpecah. Ketidakkonsistenan arah kebijakan semacam ini dapat memicu resistensi di kalangan guru, terutama mereka yang merasa terus-menerus menjadi objek eksperimen teknologi pendidikan.

Selain itu, ada ironi besar di balik peluncuran platform-platform digital ini: fokus pada inovasi teknologi sering kali mengesampingkan kebutuhan mendasar dunia pendidikan, seperti ketersediaan infrastruktur dan sumber daya di daerah terpencil. Rumah Pendidikan mungkin terlihat menjanjikan di wilayah perkotaan yang memiliki akses internet stabil, tetapi bagaimana dengan daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal)? Tanpa akses yang merata, platform ini berisiko menjadi simbol ketimpangan digital yang semakin memperburuk kesenjangan pendidikan.

Kemudian, dari sudut pandang guru, hadirnya Rumah Pendidikan bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, platform ini memberikan peluang untuk berbagi praktik terbaik dan memperkaya metode pengajaran. Namun, di sisi lain, kehadiran platform baru sering kali berarti tambahan beban administratif. Guru tidak hanya dituntut untuk menguasai substansi materi dan metode pembelajaran, tetapi juga harus terus beradaptasi dengan teknologi baru. Dalam konteks ini, Rumah Pendidikan dapat menjadi beban, bukan solusi, jika pelaksanaannya tidak diiringi dengan pendampingan yang memadai.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah keberlanjutan dan efektivitas platform ini. PMM, misalnya, meskipun telah banyak membantu guru, belum sepenuhnya optimal. Tidak sedikit guru yang merasa bahwa beberapa fitur dalam PMM kurang relevan dengan kebutuhan mereka di lapangan. Jika Rumah Pendidikan hanya menjadi "versi lain" dari PMM tanpa diferensiasi yang jelas, platform ini dikhawatirkan hanya akan menambah daftar panjang kebijakan yang gagal menjawab kebutuhan riil para pendidik.

Dari sisi siswa dan orang tua, Rumah Pendidikan juga menghadirkan tantangan tersendiri. Tidak semua orang tua memiliki literasi digital yang cukup untuk mendukung anak-anak mereka dalam memanfaatkan platform ini. Di sisi lain, siswa di wilayah terpencil masih kesulitan mengakses perangkat atau koneksi internet yang memadai. Tanpa intervensi yang konkret untuk mengatasi hambatan ini, manfaat Rumah Pendidikan hanya akan dirasakan oleh segelintir pihak yang sudah memiliki akses ke teknologi, mempertegas ketimpangan yang ada.

Namun, tidak adil jika kita hanya melihat sisi negatifnya. Rumah Pendidikan, jika dirancang dan diimplementasikan dengan matang, memiliki potensi besar untuk mengubah wajah pendidikan di Indonesia. Sebagai ruang kolaborasi digital, platform ini dapat memfasilitasi pertukaran ide dan pengalaman antara guru di berbagai daerah, memperkaya praktik pengajaran. Selain itu, integrasi antara siswa, guru, dan orang tua dalam satu ekosistem digital dapat memperbaiki sinergi yang selama ini sering terabaikan.

Namun, agar potensi ini terealisasi, beberapa hal mendasar harus diperbaiki. Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa Rumah Pendidikan tidak hanya menjadi proyek teknologi, tetapi benar-benar menjawab kebutuhan mendasar pendidikan, seperti pemerataan akses dan penguatan kapasitas guru. Kedua, platform ini harus dirancang dengan prinsip keberlanjutan, menghindari kesalahan-kesalahan yang terjadi pada platform sebelumnya seperti PMM. Ketiga, intervensi dalam bentuk pelatihan, pendampingan, dan pengadaan infrastruktur harus menjadi prioritas utama, terutama di daerah-daerah yang selama ini tertinggal.

Rumah Pendidikan mungkin menjanjikan banyak hal, tetapi pada akhirnya, yang dibutuhkan dunia pendidikan bukanlah sekadar teknologi baru, melainkan kebijakan yang konsisten, inklusif, dan berorientasi pada kebutuhan nyata. Jika pemerintah mampu menghadirkan Rumah Pendidikan sebagai solusi yang terintegrasi dan relevan, platform ini bisa menjadi tonggak penting dalam transformasi pendidikan nasional. Namun, jika hanya menjadi tambahan tanpa arah yang jelas, Rumah Pendidikan hanya akan menjadi beban baru dalam perjalanan panjang sistem pendidikan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun