Pendidikan anak-anak saat ini menghadapi tantangan serius yang dapat merongrong kualitas generasi mendatang jika tidak segera ditangani. Nilai-nilai karakter seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kesopanan semakin tergerus oleh derasnya arus digitalisasi. Data dari Global Web Index menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia menghabiskan rata-rata 8 jam per hari di depan layar, sebagian besar untuk bermain game atau media sosial, alih-alih memanfaatkan teknologi untuk belajar. Akibatnya, waktu yang seharusnya digunakan untuk interaksi sosial, pengembangan karakter, atau kegiatan membaca habis tersita untuk hal-hal yang cenderung tidak produktif.
Budaya membaca yang rendah juga menjadi persoalan utama. Berdasarkan laporan UNESCO, indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001, artinya dari setiap 1.000 orang, hanya satu yang memiliki minat baca tinggi. Hal ini diperparah dengan kurangnya dorongan dari sekolah untuk menjadikan membaca sebagai bagian integral dari kurikulum. Akibatnya, kemampuan literasi dasar siswa menjadi terabaikan. Bahkan, di tingkat sekolah dasar, banyak anak yang masih mengalami kesulitan membaca atau menulis dengan baik. Fenomena ini terlihat nyata di lapangan anak - anak di Indonesia tidak mencapai tingkat kecakapan membaca yang memadai. Ironisnya, meski kualitas pembelajaran menurun, praktik manipulasi nilai masih sering terjadi, di mana guru atau sekolah mengatrol nilai siswa demi mempertahankan citra institusi. Fenomena ini menciptakan generasi yang hanya "baik di atas kertas," tetapi lemah dalam kemampuan nyata.
Penghapusan ujian nasional yang awalnya diharapkan dapat mengurangi stres siswa justru membawa dampak lain: turunnya motivasi belajar. Tanpa adanya tolok ukur kompetitif yang jelas, banyak siswa merasa tidak perlu berusaha maksimal. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tanpa dukungan reformasi sistemik hanya akan menjadi tambal sulam tanpa efek jangka panjang.
Solusi terhadap masalah ini membutuhkan langkah radikal. Pertama, teknologi harus diarahkan untuk mendukung pembelajaran dan penanaman karakter. Aplikasi pembelajaran berbasis permainan edukatif atau buku digital interaktif dapat menjadi alternatif menarik bagi anak-anak untuk belajar sambil bermain. Kedua, budaya membaca harus digalakkan dengan melibatkan komunitas, perpustakaan digital, dan kegiatan membaca bersama. Negara-negara seperti Finlandia telah menunjukkan bahwa investasi pada literasi sejak usia dini menghasilkan generasi yang unggul.
Ketiga, perlu ada reformasi besar dalam sistem evaluasi. Penilaian harus berbasis proyek atau kompetensi nyata, bukan hanya angka yang bisa dimanipulasi. Dengan begitu, siswa dipaksa untuk benar-benar memahami materi, bukan sekadar mengejar nilai. Terakhir, pendidikan karakter harus menjadi prioritas, dengan menjadikan guru dan orang tua sebagai agen utama perubahan. Karakter tidak bisa diajarkan hanya melalui ceramah; ia harus dilihat, dirasakan, dan dicontohkan.
Jika semua pihak---pemerintah, sekolah, dan keluarga---tidak segera bergerak, kita bukan hanya berisiko kehilangan generasi cerdas, tetapi juga generasi yang memiliki moralitas. Dan saat itu terjadi, bukan hanya pendidikan yang gagal, melainkan masa depan bangsa yang dipertaruhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H