Hal ini diperparah oleh kebebasan berekspresi di media sosial yang dapat memunculkan pendapat buruk terhadap orang lain yang dinilai tidak sesuai dengan standar kecantikan yang telah tertanam. Sehingga interaksi saling menyakiti muncul antar pengguna media sosial, interaksi negatif yang mengarah pada bullying, diskriminasi, rasisme sudah menghiasi seluruh platform media sosial di seluruh dunia.
Hal yang sangat disayangkan adalah, banyak sekali pelaku verbal bullying dan cyber bullying merasa komentar buruk mereka kepada kondisi fisik seseorang dianggap sebagai lelucon yang menyenangkan bagi mereka. Maka dari itu, muncullah berbagai istilah-istilah yang merujuk pada perumpamaan untuk mencela orang lain. Akibatnya, interaksi negatif tersebut memunculkan korban yang dirugikan. Kerugian dapat berupa terganggunya kesehatan mental, dikucilkan dari masyarakat, kerugian harta benda, dan bahkan kehilangan nyawa karena tekanan mental yang berat.
Hukum yang MengaturÂ
Perbuatan menyebarkan komentar rasisme di media sosial pada dasarnya dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE yang mengatur sebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.
Upaya pemberdayaan perilaku ini dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi orang-orang yang dengan sengaja menyerang orang lain lewat media sosial. Menurut UU No 19 Tahun 2016 sebagai Perubahan Atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), ada lima pasal yang mengatur etika bermedia sosial, mulai pasal 27 sampai 30. Baik menyangkut konten yang tidak selayaknya diunggah maupun penyebaran hoaks dan ujaran-ujaran kebencian, termasuk juga mengambil data orang lain tanpa izin.
Munculnya istilah aura maghrib menjadi tanda bagaimana standar kecantikan ini berpengaruh besar pada perilaku masyarakat untuk saling menyakiti sesamanya. Standar kecantikan harus dihapuskan dalam kehidupan masyarakat, standarisasi kecantikan seperti ini jelas salah dan seharusnya tidak diterapkan dalam kehidupan.Â
Media sosial dan media massa memainkan peran besar dalam membentuk persepsi masyarakat mengenai standar kecantikan di Indonesia. Karena kebebasan berpendapat di media sosial menjadikan tempat ini ajang untuk saling menyakiti tanpa takut diketahui. Interaksi negatif akibat hal ini dapat menimbulkan kerugian seperti gangguan kesehatan mental, kerugian finansial, bahkan korban jiwa. Maka dari itu, munculah undang-undang yang mengatur perilaku masyarakat dalam bersosialisasi dengan baik tanpa menyakiti dan merugikan satu sama lain.
Namun, bukankah seharusnya sebagai makhluk sosial kita harus tahu bagaimana cara kita bersosialisasi yang baik sesama manusia? Sebagai makhluk sosial kita harus saling memahami dan menghargai orang lain, walaupun mungkin kita ingin memberikan pendapat terhadap orang lain, haruslah memakai kata-kata yang baik dan tidak memojokan hingga menyakiti sesama manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H