Hingga 25 April 2020, jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 sebanyak 8.607 dengan 720 jiwa meninggal dunia dan 1.042 kasus sembuh [1]. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan, berbagai data telah disajikan, dan berbagai statement telah disampaikan. Para pejabat, politikus, influencer tak lupa tokoh agama bermunculan.
Ketika harus berdiam diri dirumah, tiada pilihan lain bagi masyarakat selain menyantap informasi yang disajikan oleh media arus utama. Perang opini yang sepanjang waktu muncul di media tentunya membingungkan masyarakat awam. Alih-alih membawa kebermanfaatan, kebingungan tersebut dapat menutupi informasi yang justru seharusnya penting untuk masyarakat dapatkan.Â
Celakanya, penulis merasa justru keangkuhan dan keegoisan yang terlihat. Saling bantah sana sini demi panggung instan sesaat. Belum lagi, "panggung" itu sangat terlihat ketika pejabat turun secara langsung membagikan masker hingga bahan pangan.
Seakan mendapatkan definisi baru dari kata "lucu", yaitu ketika melihat seorang pejabat tinggi masih sempat memberikan bantuan secara langsung di jalanan saat pandemi ini berlangsung.
Beberapa berakhir ricuh, dan sudah pasti mengabaikan prinsip physical distancing itu sendiri. Penyampaian bantuan melalui gugus tugas di level terendah pun rawan tidak tepat sasaran jika lebih mementingkan kepentingan golongan tertentu.
Berlogika disaat coronaÂ
Selain terlihatnya conflict of interest di tataran elit, berbagai informasi yang disajikan secara real time oleh berbagai lembaga tentunya dapat membuat masyarakat bimbang mengingat tidak semua orang dapat memahami data secara tepat. Informasi mengenai pro kontra data, pro kontra kebijakan pemerintah, pro kontra kepatuhan pejabat dalam melaksanakan kebijakan serta tumpang tindihnya kebijakan itu sendiri memperparah kebimbangan pada tataran masyarakat.Â
Sebagai contoh, data yang secara real time disajikan oleh WHO maupun pemerintah terkait angka positif, sembuh dan meninggal tidak bisa serta merta diterjemahkan menggunakan logika formal saja. Seolah-olah, negara dengan angka kasus positif yang lebih kecil adalah lebih baik daripada negara dengan angka kasus positif yang lebih besar. Terlebih, Data antar negara disandingkan bagai sebuah persaingan layaknya seorang guru membandingkan kemampuan murid satu dengan murid lainnya, tanpa proses dialektika sebelumnya. nonsense.Â
Seorang yang menggunakan logika formal akan mengatakan 'A' sama dengan 'A', maka seorang yang memakai logika dialektik akan mengatakan bahwa 'A' belum tentu sama dengan 'A'.Â
John Pickard dalam "Materialisme Dialektis", yang ditulis oleh Trotsky, mengemukakan hal ini: "satu ons gula pasir tidak akan tepat sama dengan satu ons gula pasir lainnya. Adalah hal yang baik jika Anda menggunakan patokan takaran seperti itu untuk membeli gula pasir di toko, tetapi jika Anda lihat secara teliti, akan kelihatan bahwa takaran itu tidak tepat sama [2]".
Kembali tentang data yang tersaji terkait corona, kita pun perlu berdialektika dalam memahaminya. Sederhananya, angka yang sama belum tentu merepresentasikan hal yang sama. Jumlah tes yang telah dilakukan, jenis tes yang dilakukan, jumlah total populasi, jumlah total sampel uji, kapasitas sistem kesehatan, dan masih banyak parameter lainnya yang dapat digunakan dalam proses berdialektika.
Contoh sederhana, suatu negara bisa saja mengklaim negaranya memiliki 0 kasus positif corona. Namun pertanyaan yang akan muncul selanjutnya: berapa banyak pengujian telah dilakukan? Berapa perbandingan jumlah uji dibandingkan total populasi disuatu negara tersebut? dll.Â