Indonesia kini menjadi salah satu pemain utama dalam industri nikel dunia berkat kebijakan hilirisasi yang digagas oleh pemerintah. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk tambang, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong kesejahteraan masyarakat.
 Seiring dengan lonjakan nilai ekspor nikel, yang pada 2022 mencapai USD 33,81 miliar (sekitar Rp 542 triliun), peningkatan ini telah menempatkan Sulawesi dan Maluku sebagai wilayah yang mendapat perhatian besar. Kawasan seperti Morowali, Konawe, Kolaka, dan Halmahera yang kaya akan cadangan nikel kini menjadi pusat industri pengolahan nikel, dan ekonomi daerah-daerah ini mencatatkan pertumbuhan yang signifikan.
Pada triwulan pertama 2023, ekonomi Sulawesi tumbuh 7%, lebih tinggi dibandingkan 5,52% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Di Maluku, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,12%.Â
Lonjakan nilai ekspor dan pertumbuhan ekonomi ini menunjukkan bahwa kebijakan hilirisasi memberikan dampak positif pada perekonomian daerah tersebut. Namun, meski ada angka-angka menggembirakan ini, kenyataannya, dampak kebijakan hilirisasi terhadap kesejahteraan masyarakat lokal patut dipertanyakan.
Walaupun angka ekspor menunjukkan keberhasilan, rasio kemiskinan di beberapa wilayah penghasil nikel justru mengalami tren yang kurang menggembirakan. Di Sulawesi, rasio penduduk miskin naik sedikit dari 10,02% pada Maret 2022 menjadi 10,08% pada Maret 2023.Â
Di Maluku, tingkat kemiskinan bahkan masih tinggi, mencapai 16,42%. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun nilai ekspor nikel meningkat, manfaat dari hilirisasi ini belum dirasakan oleh masyarakat lokal secara maksimal. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun sumber daya alam melimpah, kesejahteraan masyarakat setempat belum terjamin.
Proses hilirisasi nikel yang lebih mengarah pada pemanfaatan teknologi tinggi dan industri yang tidak padat karya, membuat sektor ini minim menyerap tenaga kerja lokal. Hal ini menyebabkan masyarakat setempat, yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian dan perikanan, tidak dapat merasakan manfaat langsung dari pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh industri nikel.Â
Dampak lain yang tidak kalah penting adalah kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan. Degradasi lahan, polusi udara, dan pencemaran sungai menjadi masalah serius yang mengancam mata pencaharian masyarakat, terutama mereka yang bergantung pada pertanian dan perikanan.
Sungai Bahodopi dan Labota, dua sumber air utama di kawasan ini, tercemar logam berat seperti kromium heksavalen (Cr-VI), yang terdeteksi dengan kadar 0,075 mg/L, melebihi ambang batas aman yang ditetapkan oleh WHO sebesar 0,05 mg/L. Pencemaran ini tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga mengganggu keberlanjutan kegiatan pertanian dan perikanan di sekitar lokasi tambang.Â
Selain itu, hilangnya vegetasi dan habitat satwa liar akibat penebangan hutan secara masif juga mengurangi keanekaragaman hayati di wilayah ini. Sedimentasi yang terjadi akibat pembuangan limbah tambang memperburuk kualitas air sungai dan laut, yang berdampak langsung pada penurunan hasil tangkapan ikan. Para nelayan yang sebelumnya bergantung pada hasil laut kini banyak yang beralih profesi karena berkurangnya pasokan ikan.
Dampak kesehatan akibat polusi udara juga semakin memperburuk kondisi di Morowali. Data dari Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah menunjukkan lonjakan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), diare, dan kanker di Kecamatan Bahodopi.Â