Mohon tunggu...
K.R. Tumenggung Purbonagoro
K.R. Tumenggung Purbonagoro Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Pengamat dan Suka Menulis Twitter: twitter.com/purbonagoro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Habib Rizieq, Konstitusi vs Ayat Suci

4 Desember 2024   16:10 Diperbarui: 5 Desember 2024   16:13 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam peringatan Reuni Akbar 212 di Monumen Nasional, Jakarta, pada Senin (2/12/2024), Habib Rizieq Shihab kembali mendapat sorotan terkait statement yang ia lontarkan saat menyampaikan ceramah. Statement itu bermula saat ia mengatakan bahwa ayat Alquran harus selalu berada di atas konstitusi, dan tidak boleh diganti sehingga ayat konstitusi harus sejalan dengan ayat suci. Sebaliknya, ia menilai ayat konstitusi adalah produk manusia yang bersifat dinamis dan harus sejalan dengan ayat suci. Pernyataan ini menyiratkan pandangan bahwa hukum manusia harus tunduk pada prinsip-prinsip agama.

"Ayat suci akan selalu dan senantiasa ada di atas ayat konstitusi, kenapa? Karena ayat suci adalah wahyu ilahi, yang tidak boleh diganti, tidak boleh direvisi, yang wajib untuk dipatuhi, ditaati, harga mati. Sedangkan ayat konstitusi adalah produk akal basyari, hasil musyawarah sesama manusia dengan menggunakan pengetahuannya yang wajib sejalan dengan ayat suci," ujar Habib Rizieq saat Reuni 212 di Monas, Jakarta, Senin (2/12/2024).

Sebagaimana yang kita tahu bahwa Al quran adalah sumber dari segala sumber bagi yg memahami nya. Meskipun Alquran sebagai kitab suci umat Islam adalah pedoman moral dan spiritual utama bagi para pemeluknya, dalam konteks bernegara, khususnya di Indonesia, perbandingan antara kitab suci dan konstitusi sebenarnya tidak perlu dipertentangkan. Hal ini karena keduanya memiliki fungsi dan ruang lingkup yang berbeda.

Konstitusi merupakan produk hukum tertinggi dalam sebuah negara yang mengatur tata kelola pemerintahan, pembagian kekuasaan, mekanisme pemilu, serta hak dan kewajiban warga negara. Sebagai contoh, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) mengatur pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tata cara pemilihan presiden dan anggota legislatif, serta durasi masa jabatan mereka. Konstitusi dirancang untuk menjamin keteraturan dan keadilan dalam kehidupan bernegara, yang sifatnya fleksibel dan dapat diperbarui sesuai perkembangan zaman.

Di sisi lain, kitab suci, seperti Alquran, mengatur aspek-aspek yang berbeda, yaitu terkait dengan pedoman moral, etika, tata cara peribadatan, dan hubungan sosial umat beragama. Kitab suci memberikan nilai-nilai universal yang bersifat abadi, seperti keadilan, kejujuran, dan kasih sayang, yang menjadi dasar kehidupan pribadi dan sosial. Namun, kitab suci tidak mengatur detail teknis pemerintahan seperti pembagian kekuasaan atau sistem pemilu.

Di negara seperti Indonesia yang menganut prinsip Pancasila, hubungan antara agama dan konstitusi semestinya dilihat sebagai hubungan yang saling melengkapi, bukan bertentangan. Prinsip ketuhanan yang maha esa dalam Pancasila mencerminkan pengakuan atas pentingnya agama dalam kehidupan bangsa. Namun, sebagai negara yang pluralistik, Indonesia juga memberikan ruang bagi berbagai agama dan keyakinan untuk hidup berdampingan. Oleh karena itu, konstitusi berfungsi sebagai payung bersama yang melindungi hak-hak semua warga negara tanpa memandang latar belakang agama.

Pernyataan seperti yang disampaikan Habib Rizieq sebetulnya dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dilihat dalam konteks yang tepat. Oleh karenanya, sebagai sosok public figure, penting untuk menyampaikan pesan yang memperkuat harmoni antara nilai-nilai agama dan hukum negara, sehingga tidak memicu potensi polarisasi di masyarakat.

Agama dan konstitusi tidak perlu dipertentangkan karena keduanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda dalam kehidupan manusia: agama untuk spiritualitas dan moralitas, sedangkan konstitusi untuk kehidupan bermasyarakat dalam negara yang terorganisir. Dalam praktiknya, nilai-nilai agama dapat menjadi inspirasi dalam pembentukan hukum dan kebijakan publik, dengan tetap mempertimbangkan prinsip keadilan dan pluralisme

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun