Bagiku, terlahir sebagai golongan minoritas adalah berkah tersendiri. Coba tanya pada mereka yang menjadi kaum minoritas dari suatu kelompok atauoun lingkungan, seperti sekolah, kelurahan, tempat bekerja, atau hanya sakadar tempat nongkrong. Banyak dari mereka akan menjawab kalau menjadi bagian dari kelompok minoritas adalah kebahagiaan yang nyata. Contoh sederhananya begini. Ketika saya dulu masuk sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA, dan kuliah, jumlah orang batak bisa dihitung, bahkan tak lebih dari sepuluh jari. Tapi justru disitu letak kenikmatannya, bahwa kesempatan untuk unjuk gigi lebih terbuka dan gampang diingat tentunya.Â
Hal yang pernah saya alami adalah ketika saya menjadi Ketua  kontingen pramuka mewakili Kabupaten Solok untuk acara Raimuna Nasional tahun 2008 di Cibubur. Saya sama sekali tidak menonjol sebetulnya, bahkan tak lebih baik dari teman-teman saya yang lainnya. Tapi karna saya berbeda, saya bisa menunjukkan kemampuan saya, dan tak ada orang lain yang serupa dengan saya, yang bisa dijadikan perbandingan dalam mengukur kemampuan saya. Saat itu saya dikenal bukan hanya karena nama saya, tapi karena saya orang batak, dan saya berbeda.
Sampai mencicipi bangku SMA, saya tak terlalu peduli akan pentingnya pengetahuan dan asal muasal saya. Saya mulai tak menghiraukan teguran orangtua saya perihal tanggungjawab dan beban yang harua saya tanggung sebagai laki-laki batak toba. Saya memilih bersembunyi dan menghindar. Yang saya tau bahwa sebagai orang batak saya punya marga, saya tau marga ibu saya, dan ke gereja. Itu saja. Untuk urusan adat istiadat, silsilah marga dan mengenai siapa saya, saya benar-benar tak ambil pusing saat itu. Pertanyaan akan siapa saya sebenarnya mulai saya cari jawabannya ketika saya kuliah.
Kuliah dan melanjutkan pendidikan, di Kota Padang, dan lagi-lagi tak bisa secara langsung bersinggungan dengan orang batak, paling tidak orang yang bisa menarik jiwa kebatakan saya keluar. Itu pikiran awal saya.
Baru pertama memasuki dunia kampus ketika mendaftar ulang kuliah, Tuhan benar-benar membuat saya takjub. Memang ketakjuban saya tidak saya sadari langsung ketika itu, namun setelahnya. Setelah saya benar-benar berkenalan dengan saya yang sebenarnya.
Orang-orang yang saya kenal pertama kali ketika mendaftar adalah orang batak. Mereka berkumpul dan membuat stand, menyambut mahasiswa baru, terkhusus orang batak yang datang dari tanah kelahirannya untuk dibantu proses pendaftaran kuliah. Wajah mereka terlihat sangat ramah, namun sedikit tegas. Mereka berbahasa daerah (bahasa batak) dan sesekali mengeluarkan candaan yang tak terlalu kumengerti. Saya hanya bisa diam dan bersikap dingin, sekalipun mereka mendekat dan berusaha untuk akrab. Tapi sikap berbeda ditunjukkan oleh ayah. Dia benar-benar begitu bahagia, seperti doanya telah dijawab Tuhan. Doa agar kelak anak laki-lakinya bisa menjadi lelaki batak yang tau adat dan takut akan Tuhan.
Disinilah proses itu dimulai. Proses berkenalan dengan sesuatu yang masih enggan untuk keluar dari dalan diri saya. Saya yang tadinya lebih mirip lelaki minang, harus belajar untuk menjadi lelaki batak yang sesungguhnya. Dan saya bergumam dalam hati bahwa sepertinya Tuhan memberikan saya sebuah kesempatan untuk mengenal diri saya sendiri.
Immanuel namanya, organisasi yang sifatnya majemuk, namun diisi oleh mahasiswa batak rantau di selingkungan UNP. Usut punya usut, organisasi ini sudah berdiri sejak tahun 1978, dipelopori oleh mahasiswa batak yang rindu untuk berkumpul, saling berbagi cerita, membagi cinta, suka dan duka. Sampai sekarang organisasi ini masih tetap hidup dalam persaudaraan dan cinta, dengan mengutip ayat dari Alkitab, "Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu, demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." Ayat indah yang diajarkan, diturunkan dari mulut ke mulut bertahun-tahun. Karena memang pada dasarnya, orang batak dimanapun, siapapun dan dengan latar belakang apapun, akan dengan senang hati menyambut sesama orang batak sebagai saudara.
Di Immanuel itulah saya belajar banyak. Saya tau apa itu pariban, appara, dan lain sebagainya. Saya hampir setiap hari berteman dengan orang-orang yang tingkat keras kepalanya tak lebih rendah dengan saya. Saya mulai belajar bahasa, sopan santun, hormat menghormati, dan yang paling penting saya belajar menjadi orang batak yang sesungguhnya.
Banyak hal yang saya pelajari hingga saya benar-benar mengenal diri saya yang sebenarnya. Mulai dari cara berkomunikasi. Ada banyak orang beranggapan bahwa orang batak ngomongnya kasar, mulut besar, ceplas-ceplos dan kelewatan. Harus kuakui kawan, anggapan itu tak semuanya benar. Memang orang batak sudah ditakdirkan berwatak keras dan bersuara keras pula. Tapi dalam hal sopan santun, orang batak pasti paham betul. Ada orang dewasa yang memanggil tulang (paman) pada anak kecil, ada orang tua yang sudah uzur memanggil abang pada anak remaja yang bahkan belum aqil baliq. Adat dan cara bertutur tak bisa lepas dari kehidupan orang batak. Secantik-cantiknya perempuan batak takkan bisa didekati, bahkan sampai dipacari hanya karna ibunya semarga dengan ibumu. Itulah siklus yang masih dan terus dipertahankan oleh orang-orang batak, tak terkecuali batak toba. Itulah kenapa orang batak akan memberitahukan marganya terlebih dahulu ketimbang nama ketika berkenalan dengan sesama orang batak. Itulah kenapa orang batak, apabila merantau ataupun bersekolah ke daerah diluar Sumatera Utara, hal yang pertama kali dicari adalah dongan samudar (orang sedarah-sesama batak), lalu keluarga, dan gereja. Itulah sebagian kecil pesan orangtua yang diamanatkan kepada anak-anaknya agar tidak lupa diri. Itulah cinta sesama orang batak. Budaya dan kebiasaan hidup mayoritas batak toba menjadi semacam virus yang terus menular dan diturunkan dari generasi ke generasi, agar pesan cinta lewat adat istiadat orang batak tidak hilang. Karena cinta adalah pondasi bagi orang batak dalam membangun keluarga, sekolah, dan mengejar cita-cita. Jadi jangan lagi berargumen kalau Hotman Paris itu sombong dan banyak omong, ataupun Ruhut itu bermulut kasar hanya karena kita menilainya saat ini. Coba saja cari tau siapa mereka dulu, bagaimana mereka jatuh bangun demi menjadi seperti sekarang. Itu adalah watak orang batak...(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H