Mohon tunggu...
Tulus Barker Naibaho
Tulus Barker Naibaho Mohon Tunggu... Keliling Indonesia -

Traveller. Bercita-cita menjadi penulis dan menetap di London. IG @tulus182 youtube.com/tuluss182

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Orang Batak: Antara Cinta dan Budaya (Part 3)

24 Juni 2015   10:51 Diperbarui: 14 Oktober 2015   05:53 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Lagi makan"[/caption][caption caption="Komunitas Immanuel pulang gereja"][/caption]Menaklukkan perempuan bermarga batak (boru batak) tak segampang menaklukkan perempuan Sunda. Itu pepatah anonim yang acap kali menggelitik telinga. Bukan untuk bersikap rasis ataupun menganggap perempuan Sunda itu gampangan, sama sekali tidak. Untuk ukuran kecantikan, perempuan Sunda pasti berada di urutan satu daftar wanita cantik versi pengalaman pribadi saya. Namun, perempuan batak, secantik apapun dia, entah dari Samosir, Sibolga, Sidikkalang, Siantar, dan daerah lainnya, tetap saja 'amuba', asli muka batak. Selalu ada garis kulit di muka ataupun bentuk wajah yang menandakan bahwa dia orang batak. Bagi orang awam mungkin sulit membedakannya, tapi bagi lelaki batak itu adalah perkara yang mudah.

Tapi sebenarnya bukan kecantikan fisik yang menjadi tolak ukur kenapa perempuan batak sulit ditaklukkan, melainkan gelar yang disandangnya. Boru ni Raja (anak perempuan raja). Itu adalah sebutan yang dipakai untuk menjelaskan dan menegaskan bahwa perempuan batak itu istimewa. Mendekati perempuan batak sama saja dengan mendekati anak Raja. Membingungkan memang, dan agak sedikit berlebihan. Tapi saya harus jujur kawan, menaklukkan perempuan batak tak cukup hanya bermodalkan cinta, tapi juga sinamot.

Sinamot itu semacam mahar ataupun harga yang harus dibayarkan kepada pihak tulang (pihak paman) untuk bisa menikahi perempuan batak. Harga sinamot juga disepakati oleh kedua belah pihak dari masing-masing keluarga. Nantinya sinamot tersebut akan dipakai untuk menggelar pesta pernikahan, sisanya akan dibagi-bagikan menurut aturan adat. Pernah suatu kali saya melihat sebuah postingan di media sosial tentang harga-harga sinamot yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan. Mata saya mulai membaca dari urutan paling bawah, dan ketika sampai urutan paling atas dari daftar tersebut, saya sedikit terbelalak dan menarik nafas dalam-dalam. Daftar tersebut memaksa saya untuk berfikir rasional. Kesimpulan pertama yang saya ambil adalah, oke, untuk menikahi perempuan batak yang berprofesi sebagai dokter adalah hal yang mustahil. Bahkan digit angka ataupun harga yang ada didaftar itu tak akan bisa saya penuhi. Lalu saya mencari harga sinamot yang sesuai dengan latar belakang pendidikan kekasih saya saat ini (boru sibuea), dan perkiraan pekerjaannya nanti setelah tamat kuliah. Ketika ketemu, saya menelan ludah. Sungguh miris dan sangat menyakitkan melihat kisaran harga-harha sinamot di daftar tersebut. Tapi untuk boru sibuea yang satu ini, saya akan bekerja keras untuk bisa bersamanya kelak, membangun rumah tangga dan hidup bersama sampai tua. Hal pasti yang harus saya perjuangkan untuk bisa bersamanya tentu dengan bekerja keras dan mencari sinamot untuk menebus hatinya kelak. Itu adalah hal yang harus diperjuangkan, bahkan bukan hanya saya, tapi juga lelaki batak lainnya di seluruh dunia.

Mari lupakan sejenak soal sinamot.

Sudah saya katakan sebelumnya bahwa kebanyakan main set orang bukan batak beranggapan bahwa orang batak pintar menyanyi. Memang belum ada penelitian yang bisa membuktikannya, tapi bicara soal bernyanyi sudah merupakan kebiasaan yang lumrah di lingkungan keluarga batak. Jangan bandingkan dengan musisi-musisi papan atas dunia, karna mereka belum pernah mendengar suara orang batak. Tapi coba saja bekunjung ke daerah-daerah Tapanuli hingga pelosoknya sekalipun, pasti akan ada banyak potensi besar dalam urusan olah vokal. Ada banyak suara-suara emas yang masih tersembunyi dibalik pintu-pintu rumah orang batak. Rata-rata dalan satu keluarga batak, pasti ada saja yang pintar bernyanyi. Tak perlu diajari, coba saja tarik suara satu, maka pita suara orang batak akan secara otomatis menyetel suara dua ataupun tiga.

Semua berawal dari kebiasaan. Sedari kecil orangtua batak sudah mewajibkan anaknya untuk ke gereja. Dari belum pandai bicara pun orang batak sudah diajari bernyanyi. Saya tak bermaksud bersikap agamis, namun itulah kenyataannya, tanpa melangkahi orang batak beragama lain. Di gereja orang batak sudah terbiasa bernyanyi. Itu baru di gereja.

Panggung berikutnya adalah Lapo Tuak. Makin mabuk, makin bagus pula suara. Makin banyak tuak diteguk, makin tinggi pula suara tiga. Datanglah ke lapo-lapo tuak khas batak, dimana saja, kau akan menemukan banyak suara emas, jiwa musikalitas yang tinggi dan wujud kecintaan akan budaya. Tapi jangan harap kau akan menemukan suara emas menyanyikan lagu Afghan, karena orang batak di lapo-lapo tuak akan selalu menyanyikan lagu batak, lagu-lagu gereja berbahasa batak, dan lagu batak ciptaan sendiri. Jika semua lagu-lagu batak selesai dinyanyikan, mereka akan lebih memilih mengulang dari awal, daripada menyanyikan lagu Afghan, kecuali jika Afghan bersedia membawakan singel lagu berbahasa batak.

Pernah suatu ketika saya bercakap-cakap dengan seorang teman antah berantah bernama Jese Marbun, orang batak berkebangsaan Amerika Serikat yang sekarang bergabung dalam US ARMY. Saya bertanya mengenai kehidupan keluarganya dan sejauhmana dia paham akan budaya batak. Saya begitu salut karena meskipun dia jauh dari kebudayaan batak toba, dia cukup fasih berbahasa batak, tau bertutur adat dan sedikit pandai berbahasa Indonesia. Bayangkan kawan, orang batak nun jauh di Negeri Paman Sam sana masih mengaku cinta dan bangga sebagai orang batak. Bahkan plang nama didadanya diambil dari marganya, Marbun.

Pernah juga saya melihat sebuah video di youtube dimana seorang wanita muda Belanda begitu fasih berbahasa batak. Dia bercerita bahwa orangtuanya selalu mengajarinya berbahasa batak dan beradat batak. Sungguh kekagumanku pada wanita itu begitu berlebihan, namun kembali lagi harga sinamotnya pasti akan membuatku sesak nafas.

Satu hal yang pasti, jika bercerita tentang cinta dan budaya batak toba takkan pernah ada habisnya. Namun yang pasti, sebagai laki-laki batak toba, cerita ini akan kutitipkan pada generasi selanjutnya, bak tongkat estafet yang tak boleh putus di tengah jalan. Mungkin budaya batak akan terus dipertahankan hingga beratus-ratus tahun lamanya. Namun bukan berarti akan bertahan selamanya, karena ketakutan terbesar yang saya rasakan adalah apabila budaya batak perlahan ditinggalkan, karena perkembangan zaman dan ketidakpedulian generasi muda dalam melanjutkan tradisi orang batak. Ketakutan yang konyol memang, tapi itulah cinta. Ketika kita sudah jatuh cinta, hal yang paling tidak ingin kita rasakan adalah kehilangan cinta itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun