Di tengah kerusakan moral masyarakat yang merajarela, menjamur, dan berkerak itu. Ternyata ada seorang pemuda yang baik parasnya, yang baik pula akhlaknya. Dia sudah lama ditinggal mati sang ayah, ketika sedang berada di dalam kandungan sang bunda. Pemuda tangguh ini telah mengawali hidup yang telah berdinamika. Bahkan untuk mendapatkan ASI yang memenuhi gizinya, dia harus berpindah-pindah tangan, karena memang pada saat itu Sang Bunda sedang mengalami kesulitan, hingga tak bisa memberikannya ASI. Kemudian menginjak angka terakhir di golongan balita, anak lelaki itu ditinggal oleh sang bunda, kemudian mengikut kakek, diasuhnya.
Abdul Muthalib, Sang kakek pun memasuki usia yang sudah mulai renta, tak bisa lagi mengasuh anak lelaki itu. Dalam dukanya, tetap bersabar, dan kemudian diasuhlah anak lelaki itu oleh sang paman, Abu Thalib. Diasuhnya, mengikutinya berdagang ke negeri syam, tumbuh menjadi pemuda yang tangguh. Pemuda yang pandai rajin dan ulet. Pemuda ini senantiasa jujur dalam melakukan perdagangan, hingga tak ada satupun pembeli yang merasa kecewa dengan pemuda ini.
Pemuda ini begitu terkenal akhlak baiknya, sampai dijuluki Al-Amin, yang dapat dipercaya. Seantero orang yang mengenalnya, mempercayaianya, karena dia memang mampu diberi kepercayaan.
Di tengah para pria yang lain hidup dalam gelimangan kejahiliyahan, kerusakan moral, seks bebas, minum-minum khamr. Pemuda ini lebih senang merenung, di atas bukit hira. Memperhatikan cahaya matahari terbit dan terbenam, membaca pergerakan alam yang penuh misteri dan tanya.
Tak menemukan jawaban, dia pun datang lagi ke bukit itu. Beberapa kali pemuda arab yang selainnya mengajaknya untuk bersenang-senang, untuk menikmati surga duniawi, untuk menikmati kekuasaan bani yang mereka miliki. Namun, kerap kali pemuda itu menolak, dan masih bergelut dengan kuriositas, mempertanyakan segala gejala alam yang bersenandung di hadapannya.
Pemuda itu amat terkenal baik akhlaknya, jarang mengikuti pergaulan pemuda arab yang selainnya, selalu bersikap santun. Hal ini membuat putri dari saudagar kaya, Khodijah, terjatuh hati padanya. Kebetulannya, pemuda itu juga sering melakukan perdagangan dengan sang Ayahandanya Khodijah, dan seringkali janda manis itu mengintip untuk mencuri perhatian pemuda itu. Ternyata pemuda itu merasakan hal yang sama dengan Sang Janda cantik nan duhai manisnya ini. Kemudian menikahlah mereka, menjadi pasangan yang serasi. Walaupun umur mereka terpaut jauh, sang pemuda berumur 25 tahun, sedangkan sang janda cantik duhai manis ini berusia 40 tahun. Namun, cinta yang mereka rasakan tak mengenal pautan usia, tak menjadi jarak antara kasih sayang yang mereka bagi satu sama lain.
Setelah menikah, pemuda itu masih saja sering melakukan hal yang sama, seperti sudah menjadi keseharianya, rutinitasnya. Pergi ke bukit hira, bukit yang ada di tanah arab itu, untuk berpikir, merenung, memperhatikan segala gejala alam yang ada di hadapannya. Masih penuh misteri, masih terus mencari.
Pemuda itu bernama Muhammad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H