Disusun Oleh Claudya Sintya Bella Modeong, Nurafni A. Tamalu, Herman Yusup Sermumes, Irvan Usman
Generasi Y atau yang biasa disebut dengan milenial adalah generasi yang dianggap semakin maju dari generasi sebelumnya beriringan dengan pesatnya perkembangan teknologi. Milenial umumnya memiliki kelebihan seperti bekerja secara multitasking, kreatif, dan ambisius. Selain itu, milenial memiliki standar kesuksesan yang berbeda dengan generasi sebelumnya di mana kesuksesan kerja dikagumi dan diperjuangkan secara berlebihan. Di balik segala kelebihan yang melekat, milenial dianggap sebagai Burnout Generation (Negara, 2024)
Burnout adalah suatu sindrom kelelahan emosional, fisik, dan mental ditunjang oleh perasaan rendahnya harga diri dan kemampuan untuk mencapai hasil yang diinginkan, disebabkan oleh penderitaan stres yang intens dan berkepanjangan. Penyebab utama burnout pada milenial adalah mereka merasa dituntut oleh lingkungan untuk memiliki karir tertentu dengan ekspektasi menjadi orang sukses yang membanggakan keluarga dan dipandang masyarakat. Hal ini membuat milenial bekerja sekeras mungkin di luar kapasitasnya hingga lupa dengan dirinya sendiri. Mereka tidak memperhatikan keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi. Milenial bahkan rela hanya untuk membalas email kantor pada saat libur ataupun mengerjakan revisi di luar jam kerja. Pada kondisi tertekan seringkali membuat milenial stres secara intens dan berkepanjangan yang menyebabkan burnout. Selain tertekan dan lelah, burnout dapat menyebabkan gangguan mental yang lebih berbahaya seperti insomnia, kesulitan berkonsentrasi, kecemasan, hingga depresi. (Pranata et al., 2020).
(Bianchi & Schonfeld, 2023) dalam Bulettin Of Yhe World Health Organization (WHO) pada Mei 2019 memasukkan burnout sebagai salah satu sindrom yang terdaftar dalam International Classification of Diseases. Tim WHO memandang burnout sebagai sindrom yang cukup serius pada milenial di seluruh dunia. Salah satu cara untuk mengatasi kelelahan pikiran, stres, dan insomnia yaitu melalui meditasi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Mount Sinai School of Medicine bersama dengan Harvard Medical School dan University of California membuktikan bahwa meditasi menjadi salah satu cara yang cukup efektif untuk mengatasi stres. Meditasi membuat tubuh dan pikiran menjadi lebih segar dan rileks. Melihat fenomena tersebut, penulis tertarik merancang sebuah aplikasi yang bertujuan untuk mengatasi stres dan burnout melalui meditasi. Aplikasi ini diharapkan dapat membantu milenial dalam mengelola pikiran dengan baik sehingga sehat secara emosional, fisik, dan mental (Aurelia, 2019).
Teknologi dan ilmu pengetahuan menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan di kalangan akademisi maupun praktisi. Hal ini dikarenakan perkembangan teknologi sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju. Teknologi dapat dikatakan sebagai katalisator dari dinamisnya perkembangan zaman, sehingga membantu tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan. Sebaliknya, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi semakin menunjukkan kecanggihannya (Ajizah, 2021).
Kemajuan teknologi memiliki pengaruh yang cukup luas di setiap lini kehidupan manusia, termasuk juga dalam bidang pendidikan. Mengutip pendapat Malik Fadjar, seorang pakar pendidikan, dalam artikel yang ditulis oleh Hendra Suwardana bahwa hakikat mengelola sekolah atau perguruan tinggi adalah mengelola masa depan, sehingga tugas lembaga pendidikan tidak hanya memelihara dan melestarikan tradisi masyarakat saja, namun harus mempresentasikan pola pendidikan yang mampu menjawab tantangan global. Karena globalisasi adalah realitas yang dinamis (Suwardana, 2018).
Kelelahan akademis, yang terutama dialami oleh mahasiswa, merupakan salah satu kategori kelelahan karier. Kelelahan ini sering diartikan sebagai sindrom terkait pembelajaran yang ditandai dengan respons emosional dan fisiologis yang tidak adaptif terhadap paparan peristiwa yang penuh tekanan dalam jangka panjang (Pranata et al., 2020).
Burnout akademis mempunyai tiga manifestasi utama yaitu kelelahan akibat tuntutan pembelajaran (emotional exhaustion), sikap sinis atau transendental terhadap pembelajaran diri sendiri (depersonalisasi), serta rasa tidak kompeten dan kesulitan dalam menghasilkan kepuasan sebagai mahasiswa serta evaluasi negatif terhadap lingkungan pendidikan (prestasi pribadi rendah). Ciri utama burnout adalah gabungan antara kelelahan (aktivasi rendah) dan sinisme (identitas rendah), sedangkan kebalikan dari dedikasi akademis ditandai dengan vitalitas (aktivasi tinggi) dan dedikasi (identitas tinggi) (Kim. S et al., 2021).
Hubungan antara penggunaan teknologi digital dan Internet serta motivasi dan prestasi akademis mahasiswa telah menjadi perhatian para peneliti. Teori penentuan nasib sendiri tentang motivasi dan keterlibatan menyatakan bahwa mahasiswa menentukan perilaku belajar mereka sendiri berdasarkan sumber daya eksternal, dan bahwa siswa menjadi kurang termotivasi ketika kebutuhan psikologis mereka (kompetensi, otonomi, dan keterhubungan) tidak terpenuhi. Ketika metode pembelajaran nondigital tradisional gagal memenuhi kebutuhan psikologis mereka, mahasiswa yang mengalami burnout akademis akan merasa tidak puas dan mungkin mencari kenyamanan internet dan menjadi lebih kecanduan. Kekhawatiran tentang dampak teknologi digital pada kinerja akademis khususnya muncul ketika mahasiswa memiliki "penggunaan internet yang bermasalah" (PIU) atau kecanduan internet. Penggunaan internet yang bermasalah dapat menimbulkan perasaan terisolasi, yang secara langsung mempengaruhi motivasi untuk menggunakan strategi pembelajaran dan dapat menyebabkan gangguan psikologis kronis lainnya (Truzoli et al., 2021).
Di sisi lain, kelelahan akademis berhubungan dengan prestasi akademik mahasiswa. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kelelahan mahasiswa dan prestasi akademik, namun studi cross-sectional yang lebih baru telah merancang dan mengajukan hipotesis bahwa kelelahan siswa merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kinerja akademik. Penggunaan internet secara berlebihan atau kecanduan media sosial memiliki dampak negatif dan signifikan terhadap prestasi akademik siswa dan sebuah meta-analisis yang dilakukan terhadap 100.000 siswa menunjukkan bahwa kelelahan menyebabkan kinerja akademik yang buruk (Curran, 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H