Bagi masyarakat Kudus, nama Kyai Telingsing (The Ling Sing) sudah akrab dikenal, karena beliau adalah ulama besar di kota santri ini. Namun tak setenar Syekh Ja'far Shodiq. Kyai Telingsing merupakan seorang pedagang sekaligus mubaligh Islam dari China yang datang ke Jawa. Menurut Munawwir, juru kunci keempat makam Kyai Telingsing yang terletak di Desa Sunggingan Kecamatan Kota Kabupaten Kudus. Ayah Kyai Telingsing berasal dari negeri Arab yang pernah mukim di kota Tajug, sebelum berubah menjadi Kudus. Sedangkan Ibunya berasal dari Tiongkok. Saat dirasa cukup matang usianya, Kyai Telingsing mendapat pesan dari ayahnya, "Kalau kamu ingin mendapat kebahagiaan dunia akhirat, kamu harus meneruskan apa yang aku pesankan. Berjalanlah terus ke barat". Begitulah pesan ayahnya. Akhirnya Kyai Telingsing sampai di Kudus dalam rangka menyebarkan agama Islam. Ketika datang ke Kudus, sekitar awal abad ke-15 M, masyarakat daerah ini masih beragama Hindu dan Budha.
Selain berdagang dan berdakwah, Kyai Telingsing memiliki keahlian melukis dan mengukir (menyungging) sebagai media dakwah islamiyah sehingga banyak masyarakat Kudus yang masuk agama Islam. Dari hari ke hari semakin banyak orang yang belajar kepadanya dan kemudian bermukim di kampung tersebut. Kyai Telingsing merupakan salah satu tokoh Islam Indonesia yang mengajarkan kepada masyarakat dalam hal keterampilan mengukir dan melukis. Warisan bangsa Indonesia ini harus kita jaga dan lestarikan agar tidak punah. Terutama kita sebagai anak muda harus melestarikan dan memperkenalkan warisan budaya ini hingga kancah dunia.
Perjalanan dakwah beliau mempertemukannya dengan Syekh Ja'far Shodiq atau Sunan Kudus. Dari pertemuan tersebut, membuat keduanya bekerjasama dalam menyiarkan agama Islam di Kudus. Salah satu bentuk strategi dakwah yang dilakukan mereka sampai sekarang adalah larangan menyembelih sapi sebagai wujud toleransi terhadap pengikut Hindu dan Budha. Hal tersebutlah yang dapat membuktikan bahwa keduanya mempunyai rasa nasionalisme, mereka tidak ingin masyarakat terpecah  belah karena perbedaan agama.
Kyai Telingsing mengabdikan dirinya secara total terhadap syiar Islam dan enggan terlibat dalam politik pemerintahan dan kekuasaan seperti Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Kyai Telingsing tidak melakukan perubahan frontal untuk mengubah dominasi Hindu. Untuk mendekati masyarakat yang jadi sasaran dakwahnya, beliau memberdayakan kemampuannya sebagai ahli ukir dan lukis.
Kita bangsa Indonesia mempunyai sejarah yang bisa menginspirasi untuk membangun kerukunan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, nenek moyang kita sudah mempraktikkan hidup rukun, gotong royong dan saling membantu. Nenek moyang kita sangat menghargai perbedaan. Mereka sangat toleran. Contohnya seperti Kyai Telingsing dan Syekh Ja'far Shodiq.
Kyai Telingsing merupakan ulama besar yang dipercaya masyarakat lokal sebagai guru dan penasihat dari Sunan Kudus. "Sosoknya sederhana, tidak menyukai kekayaan dan kekuasaan. Yang penting syiar agama. Menurut saya, antara Kiai Telingsing dan Sunan Kudus, mereka saling ngangsu kawruh (saling belajar)". Ucap Munawwir.
Kedekatan keduanya terlihat saat Syekh Ja'far Shodiq kedatangan tamu dari Tiongkok, kemudian meminta Kyai Telingsing untuk membuat cinderamata yang akan diberikan kepada tamunya tersebut. Perintah tersebut dilaksanakan oleh Kyai Telingsing dengan membuatkan sebuah kendi dengan ukiran indah. Diperlihatkanlah kendi tersebut kepada Sunan Kudus, sontak Sunan Kudus tercengang karena penampilan kendi tersebut terkesan biasa saja, dirasa tidak pantas diberikan sebagai cinderamata untuk tamunya. Lalu Sunan Kudus melemparnya hingga pecah berkeping-keping. Dari pecahan tersebut, terlihat sebuah ukiran indah pada bagian dalam kendi yang bertuliskan kalimat syahadat. Melihat hal tersebut Sunan Kudus terkagum-kagum dengan kesaktian yang dimiliki Kyai Telingsing.
Peninggalan Kyai Telingsing yang masih ada sampai sekarang adalah masjid Kyai Telingsing yang berjarak sekitar 50 meter dari kompleks makam. Masjid yang diyakini sebagai tempat syiar agama bagi orang-orang yang nyantri kepada Kiai Telingsing. Hanya saja, bangunan masjid saat ini sudah dirombak menjadi modern. Dulu bangunannya dari kayu jati berbentuk panggung. Di depan masjid, ada bangunan berbentuk Joglo Pencu, ciri arsitektural rumah di Kudus. Konon di situlah tempat tinggal Kyai Telingsing.
Ya, Kudus memang dikenal sebagai kota kuno yang kaya akan peninggalan baik dari kebudayaan Hindu maupun Islam yang tersebar hampir merata di wilayah Kudus. Salah satunya  Menara Kudus atau sering disebut sebagai Masjid Al Aqsa dan Masjid Al Manar yang dibangun oleh Syekh Ja'far Shodiq sekitar tahun 1549 Masehi. Menara Kudus terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus. Menara ini memiliki bentuk yang unik. Sekilas bila diperhatikan, menara di masjid ini tidak seperti menara pada umumnya karena memiliki bangunan yang serupa dengan candi. Menara yang memiliki ketinggian 17 meter dan luas sekitar 100 meter persegi ini menjadi simbol akulturasi antara kebudayaan Hindu, Jawa, dengan Islam. Menara Kudus merupakan bangunan yang bernilai arkeologis dan historis tinggi.
Kebhinekaan dan kerukunan menjadi ciri khas dan ikon bahasa Indonesia. Oleh karena itu, seharusnya kita semua, seluruh komponen bangsa memelihara dan menjaga kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sampai kapan pun dan dalam situasi apapun. Indonesia sebagai negara yang mendapat julukan surganya dunia ini tidak hanya gemahripah loh jinawi tanahnya. Indonesia kaya akan ragam agama, bahasa budaya dan suku bangsa. Maka dari itu, tanamlah rasa nasionalisme kita terhadap negara Indonesia dengan cara menjaga, merawat dan saling berdamai satu sama lain.