Â
      Selain terkesan eksotis dan indah, problematika Danau Toba juga dapat membuat hati sangat miris. Sejak ditetapkan Pemerintah sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional ( KSPN ) yang saat ini pembangunannya masuk dalam kategori Super Prioritas, membuat masyarakat terlena akan program-program pembangunan tersebut. Banyak pihak yang tidak menyadari bahwa banyak hal yang dikorbankan untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut.      Kawasan Danau Toba yang dikelilingi oleh Tujuh Kabupaten harusnya mempercepat perkembangan untuk mendorong perekonomian masyarakat, karena sejatinya tujuan pembangunan adalah untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi otonomi daerah juga bisa menjadi salah satu factor penghambat pembangunan. Bagaimana tidak, sebab masing-masing kepala daerah akan susah untuk berkordinasi dengan rencana pembangunan pariwisata masing-masing daerahnya.
      Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
        Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha (enterpreneurship).  Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah daerah yang "terlalu intensif" memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah daerah telah "kebablasan" dalam meminta sumbangan dari rakyat. Mau bukti? Silakan Anda hitung berapa item pajak dan retribusi yang musti Anda bayar selaku warga daerah.
      Seharusnya, pajak dan retribusi yang dibayar oleh rakyat harus kembali ke rakyat melalui pembangunan dan pelayanan urusan kerakyatan yang mudah dan cepat. Dan salah satu pembangunan tersebut adalah pengelolaan Ekosistem dan Pariwisata Danau Toba yang berkelanjutan dan berkemanusiaan. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan pemerintah dikawasan Danau Toba kerap "menyingkirkan" masyarakat sekitar sehingga selalu menimbulkan istilah "asing dirumah sendiri".
      Dalam rencana tata ruang kawasan strategis, Danau Toba memiliki enam sektor isu dan permasalahan, yaitu di sektor pelestarian sumber daya air, perikanan, pertanian dan perkebunan, budaya, pariwisata, lingkungan serta infrastruktur. Dan beberapa event kegiatan yang berlangsung dikawasan Danau Toba seolah menjadi "tameng" untuk menutupi semua permasalahan yang paling mendasar dikawasan Danau Toba diantaranya adalah masalah lingkungan dan hak ulayat masyarakat adat dikawasan Danau Toba.
      Bahwa perhelatan F1H20 di Kawasan Danau Toba, tepatnya di Balige, Kabupaten Toba yang akan berlangsung pada 24-26 Februari mendatang juga menimbulkan sejumlah luka mendalam bagi masyarakat Balige. Bagaiman tidak, sebab kawasan Venue F1H20 harus mengorbankan nilai historis sejarah peradaban nenek moyang leluhur Batak khususnya para leluhur masyarakat Balige yang dahulunya mendiami lokasi tersebut yang saat ini menjadi venue F1H20. Selain hal tersebut, bahwa dampak ekonomi yang dirasakan masyarakat juga tidak sebanding dengan apa yang dikorbankan bahkan tidak sebanding dengan apa yang didapat oleh para investor-investor untuk kegiatan ini. Seharusnya F1H20 memberikan mamfaat yang tidak mengorbankan kearifan local. Seperti halnya lahan pemabangunan F1H20, jika pemerintah berpihak kepada masyatakat dan mengerti tentang historis lokasi tersbut, jika memang tidak ada pilihan lain untuk mengganti venue perhelatan F1H20, maka sebaiknya pemerintah harus melakukan pinjam-pakai terhadap tanah tersebut agar setelah event selesai, maka nilai historis dari tanah tersbut tidak hilang dan akan selalu melekat dalam kehidupan masyarakat Balige.
      Pada pelestarian sumber daya air, adanya isu tentang lunturnya nilai-nilai kearifan lokal budaya suku Batak membuat fungsi Danau Toba sebagai sumber air kehidupan mulai menurun, dimana dahulu Danau Toba dikenal sebagai raja dari segala danau sehingga masyarakat sangat menghormati dan menjaga kualitas airnya, serta perilaku masyarakat dan dunia usaha membuang limbah domestik dan limbah cair ke badan air Danau Toba. akan tetapi saat ini, banyak perusahaan dan aktifitas yang jelas-jelas membuat kualitas air Danau Toba menurun. Seperti yang sudah disebutkan bahwa adanya perusahaan yang terang-terangan membuang limbah cair ke danau Toba yang jelas-jelas akan merusak ekosistem danau toba. akan tetapi, pemerintah seolah tutup mata dengan hal tersebut. Kondisi perairan Danau Toba yang telah mengalami pencemaran, membuat kualitas air danau menurun. Selain itu terdapat ikan endemik yang terancam punah, dan kegiatan budi daya ikan ternyata menghasilkan limbah organik yang tinggi dan pada akhirnya akan menghasilkan proses nitrifikasi
      Adanya praktik-praktik mafia tanah di Kawasan Danau Toba juga menjadi factor penghambat perkembangan Danau Toba. akan tetapi pemerintah tidak pernah menyadari hal tersebut atau seolah-olah tidak menyadari akan adanya praktik mafia tanah dikawasan Danau Toba? Esensi dari pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat dan sejarah peradaban kelompok masyarakat yang harus dipertahankan bukannya malah dihilangkan. Setelah ditetapkan menjadi salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, pembangunan terhadap Danau Toba sangat berkembang pesat. Termasuk Kota Parapat yang menjadi salah satu gerbang terbesar memasuki kawasan Pariwisata Danau Toba. dan salah satu ikon kota Parapat adalah Pantai Bebas Parapat yang telah rampung direnovasi dan dibangun serta diresmikan oleh Presiden Jokowo pada 02 Februari 2022 yang lalu.  Akan tetapi tidak banyak orang yang tahu bahwa di lahan Pantai Bebas Parapat, telah terjadi praktik Mafia Tanah yang jelas-jelas bekerja sama dan dilakukan oleh oknum pemerintahan di Kabupaten Simalungun. Bahwa penetapan Pantai Bebas Parapat yang dahulunya adalah sebuah perkampungan dengan nama Huta Sosor Pasir tidak terlepas dari tujuan nya yaitu untuk kepentingan pariwisata danau toba, khususnya Parapat seperti yang tercantum didalam PERATURAN DAERAH  TINGKAT II SIMALUNGUN NOMOR : 7 TAHUN 1989 TENTANG PENETAPAN SOSOR PASIR SEBAGAI PANTAI BEBAS DI KOTA PARAPAT
      Selain dengan contoh kasus diatas, salah satu yang paling menarik perhatian publik adalah adanya dugaan praktik mafia tanah di lahan Badan Otorita Danau Toba ( BODT ) yang berlokasi di Desa Sigapiton. Tanah-tanah yang ada di Kabupaten Toba merupakan hak ulayat yang bercirikan tanah warisan turun temurun (parompu-ompuan) dengan bukti kepemilikan yang memang sulit secara hukum positif. Tapi, di satu sisi bisa saja tanah ulayat itu diberikan hak pengelolaan kepada seseorang atau pihak badan usaha atau korporasi dengan berupa hak pengelolaan di atas tanah ulayat. Cara ini memang sering berujung pihak masyarakat akan terusir dari tanah leluhurnya, bukan saja hanya kepemilikan tetapi hak hidupnya juga akan direnggut dengan alasan untuk pembangunan dan percepatan pembangunan
      Bahwa hal-hal tersebut diatas merupakan beberapa rangkaian masalah yang ada diseputaran Danau Toba. dan beberapa kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah seolah-olah menjadi hal yang terkesan menutup-nutupi semua masalah yang ada dikawasan Danau Toba, baik dari segi lingkungan, pariwisata, investasi, hak-hak ulayat baik tanah dan sejenisnya, serta mulai terkikisnya nilai historis dan budaya leluhur. Akan tetapi pemerintah tidak pernah melakukan kajian dan analisa terhadap masalah tersebut dan seolah-olah terkesan menutup-nutupi permasalahan Danau Toba. Dan apakah perhelatan F1H20 di Danau Toba benar untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat di kawasan Danau Toba atau hanya merupakan manuver pemerintah untuk menutupi problematika dan menjadi "karpet merah" untuk para investor di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional ( KSPN ) Danau Toba dari mata Dunia Internasional?