Sebagai orang yang lahir dan besar di Tanah Batak, kita akan sangat mengetahui betul dampak-dampak yang ditimbulkan oleh PT.TPL terhadap masyarakat dan juga Danau Toba. Digadang-gadang menjadi Monaco Of Asia atau menjadi  Bali baru di Indonesia, nayatanya pemerintah masih setengah-setengah membangun pariwisata Danau Toba. Setelah sebelumnya Presiden Jokowidodo menerbitkan Perpres 49 Tahun 2016 Tentang Badan Pelaksana Otorita Danau Toba merupakan angin segar bagi perkembangan pariwisata Danau Toba, namun nayatanya hingga saat ini belum ada perkembangan signifikan setelah badan ini dilahirkan. Yang terjadi malah sebaliknya, rakyat kembali dihujani duka yang sangat mendalam dengan lahirnya kembali konflik antara PT.TPL dengan masyarakat Desa Natumikka Kab.Toba Sumatera Utara. Kejadian yang seperti ini bukanlah kejadian yang pertama kali melainkan sudah berkali-kali yang menambah daftar korban yang dianiaya dan hak nya yang dihilangkan. Sangat disayangkan, usaha Jokowi untuk mengembangkan Danau Toba dengan anggaran yang sangat besar terkesan sia-sia.
Harapan untuk itu sempat terlintas kala pemerintah pusat memastikan bahwa danau Toba masuk dalam 10 daftar Kawasan Startegis Pariwisata Nasional ( KSPN ). Sayangnya, kenyataan dilapangan berbanding terbalik dengan harapan. Dari semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terhadap pengembangan pariwisata danau Toba atau yang lebih dikenal dengan Badan Otorita Danau Toba (BODT), nyaris tidak ada yang mengatur tentang pengembangan pariwisata danau toba dari segi kebudayaan dan kearifan lokal. Kebanyakan isi peraturan yang ada hanya mengatur pemanfaatan kekayaan Danau Toba untuk kepentingan korporasi dan para pengusaha tanpa memikirkan konsep pengembangan pariwisata dari sektor kebudayaan atau nilai kultural.
Sampai saat ini, belum jelas arah tata kelola dan fokus pengembangan pariwisata untuk kawasan danau Toba. Jika fokus pengembangan adalah pariwisata sektor budaya, sampai saat ini tidak ada kejelasan soal regulasi pemerintah mengenai pengembangan pariwisata sektor kebudayaan. Jika kita menilik realita di lapangan di sekitar Danau Toba, justru yang mendapat pengaturan dan regulasi yang jelas dari pemerintah adalah perusahan-perusahaan yang diduga "merusak" ekosistem alamnya serta tatanan sosial kehidupan masyarakat dan struktur alam danau Toba. Â Masyarakat tidak boleh menutup mata soal keberadaan beberapa perusahaan yang diduga sangat merusak ekosistem dan keindahan alam Danau Toba. Selain rusaknya alam dan ekosistem, beberapa kebijakan pemerintah telah menimbulkan masalah baru, yakni secara tidak langsung telah merusak tatanan social masyarakat. Mafia-mafia tanah telah bermunculan, para baron bisnis mulai tampak gelagat kapitalistik, bahkan putra daerah sendiri berhasrat untuk menjual tanah kepada investor dengan iming-iming keuntungan yang sangat besar. Jika dinilai secara ekonomi, transaksi jual-beli tanah memang sangat menguntungkan. Akan tetapi pertanyaan besarnya adalah, jika semua tanah bahkan tanah adat/tanah marga telah dijual dan dikuasai oleh orang lain/pihak asing, lantas kemanalagi para generasi muda sebagai suku asli penghuni Danau Toba dan sekitarnya untuk tinggal? Dimana tanah adat itu? Sedikit demi sedikit semua kekayaan Danau Toba akan hilang secara perlahan jika masyarakatnya sendiri sudah terobsesi dengan uang. Kemewahaan dan cirri khas Bangso Batak bisa-bisa hanya akan menjadi tulisan sejarah semata tanpa bukti fisik yang nyata.
Jika pemerintah benar-benar berkomitmen dan serius ingin mengembangkan pariwisata di danau Toba, hal yang harus dan wajib dilakukan pemerintah adalah menghentikan segala kegiatan yang tidak berhubungan dengan pariwisata di kawasan danau Toba. Satu langkah nyata tersebut akan mendorong perubahan yang sangat signifikan di sektor pariwisata. Searah dengan proses penghentian segala kegiatan yang tidak berhubungan dengan pariwisata, pemerintah juga wajib mengembangkan pariwisata dari sektor kebudayaan dan kekayaan alam danau Toba, dengan cara menghidupkan kembali ritual-ritual dan tradisi leluhur yang telah lama tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Jika niat pemerintah adalah untuk mengembangkan pariwisata danau Toba dengan tujuan menyejahterahkan rakyat maka tidak ada kata lain selain menutup segala perusahaan dan menghentikan segala kegiatan yang tidak berhubungan dengan pariwisata di kawasan danau Toba dan tidak ada satu kata tawaran pun untuk hal tersebut. Disatu sisi, peran masyarakat sangat diperlukan untuk menjaga warisan leluhur dan kekayaan danau Toba. Sebab tidak sedikit masyarakat sendiri juga secara tidak langsung berupaya untuk menghilangkan nilai-nilaibudaya yang ada.
Dengan konflik yang telah terjadi, sudah saat nya Jokowidodo membuktikan keseriusnnya untuk mengembangkan pariwisata Danau Toba yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dikawasan Danau Toba dengan cara menutup dan menghentikan segala perusahaan dan kegiatan yang tidak berhubungan pariwisata dikawasan Danau Toba. #SalamTutupTPL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H