Kabar mengejutkan datang dari Orlando, AS. Telah terjadi penembakan di sebuah klub malam Pulse, tempat berkumpulnya orang LGBT (lesbian, gay, biseks dan transgender) pada Minggu (12 juni) siang waktu setempat. Sedikitnya 50 orang tewas dan 53 lainnya terluka dalam peristiwa tersebut. Hasil investigasi kepolisian setempat menyatakan bahwa Omar Mateen seorang muslim warga California sebagai pelaku insiden yang paling mengerikan dalam sejarah penembakan di AS ini. “Tampaknya pelaku sudah terorganisasi dan melakukan persiapan dengan baik”, ujar Kepala Kepolisian Orlando John Mina dikutip dari CNN (detik.com)
Kandidat Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump menunjukkan reaksi keras terhadap insiden ini lewat tweet2 dari akun resminya. “Apa yang terjadi di klub malam Orlando baru permulaan. Kepemimpinan kita lemah, pengecut dan tidak efektif. Saya akan menyerukan kembali larangan masuk bagi warga Muslim (untuk datang ke AS). Meskipun itu sulit dalam pelaksanaannya,” kata Trump (viva.co.id). Kecaman keras juga datang dari Paus Fransiskus. Presiden Obama sendiri akhirnya mengumumkan peristiwa penembakan Orlando sebagai aksi terorisme setelah dituntut untuk mengundurkan diri jika tak melakukan hal tersebut.
Lain yang terjadi di Amerika, lain lagi yang terjadi di Timur Tengah. Pada hari yang sama di kota Idlib Suriah terjadi (lagi) pengeboman oleh pesawat tempur pasukan pemerintah dan pasukan Rusia membunuh 30 orang dan mengakibatkan 70 lainnya terluka. Konflik kemanusiaan di Suriah telah terjadi sejak 2012 lalu, dan telah menelan banyak korban, wanita dan anak-anak. Pemandangan yang bisa kita lihat di Suriah hanyalah puing-puing bangunan yang telah luluh lantak oleh bom dan rumah sakit-rumah sakit yang selalu penuh dengan korban luka atau tewas. Namun, dunia hanya melihat apa yang terjadi di Orlando. Gedung-gedung dan landmark di kota New York hingga kota Syney diberi penerangan lampu warna warni pelangi lambang LGBT sebagai bentuk belasungkawa dan dukungan kepada korban penembakan. Kita tidak melihat dukungan seperti ini atas apa yang terjadi di Suriah dan di negeri-negeri muslim.
Sebabnya karena Islam dianggap sebagai agama yang mengajarkan kekerasan dan intoleran terhadap kehidupan non muslim. Isi alqur’an juga dituduh menyebarkan paham terorisme karena menyuruh untuk membunuh orang-orang non muslim. Akibatnya, tentu saja menambah panjang cerita Islamophobia di dunia barat.
Lalu, kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh orang muslim akan terus disangkutpautkan dengan tuduhan terorisme. Sedangkan jika pelakunya non muslim, tak ada klaim terorisme. Kontradiksi ini sangat jelas, kita bisa melihatnya pada 2015 lalu saat kasus penembakan Chapel Hill yang menewaskan 3 mahasiswa muslim oleh Craig Stephen Hicks, seorang rasis dan sangat anti terhadap agama. Tak ada pemberitaan soal terorisme, malah dinyatakan sebagai kejahatan biasa karena motif perselisihan. Ini belum termasuk kasus-kasus penyerangan terhadap warga muslim yang luput dari pemberitaan.
Padahal, pada dasarnya tindakan terorisme adalah tindakan yang membuat resah atau mengancam keamanan orang lain, terlepas dari soal suku, rasa atau agama. Namun, kenyataan membuktikan cap terorisme hanya kepada muslim saja.
Ditambah lagi, cap terorisme membuat umat muslim menjadi sasaran kebrutalan misil-misil pasukan ‘penjaga perdamaian’ di negeri-negeri muslim. Pengeboman, penghancuran, pembunuhan, pembantaian atas nama pemberantasan terorisme menyebabkan jutaan wanita dan anak-anak tewas. Ratusan ribu orang mengungsi meninggalkan tanah kelahiran mereka. Jutaan anak kehilangan orang tua dan keluarga. Bahkan hingga hari ini masih banyak muslim yang kehilangan nyawa layaknya serangga yang tak berharga.
#OrlandoShooting #SyrianGenoside #MuslimMartyrs #Islamophobia #MuslimsAlsoKilled
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H